Seputaran tahun ’90 sewaktu
masih SMA, waktu itu motor masih satu sehingga kalau berangkat sekolah berangkat
sama adik. Dari Mulyosari ke Ngaglik dulu ngantar adik ke SMA 7 baru ke Kusuma
Bangsa, begitupun saat pulang ke Ngaglik dulu.
Jalan Ngaglik Surabaya itu salah satu ruas jalan di perempatan. Sebelah Barat adalah jalan Kalianyar, sebelah Timur adalah jalan Ngaglik, sebelah Utara adalah jalan Gembong yang terkenal sebagai salah satu pasar loak di Surabaya dan sebelah Selatan adalah jalan Kusuma Bangsa yang dulu terkenal karena ada THR (Taman Hiburan Rakyat) sekarang menjadi Hi-Tech Mall.
Di sepanjang trotoar
jalan Ngaglik yang sebelah Utara, mulai traffic light hingga sampai SMA 7, dulu
kalau siang selalu berjajar pedagang akik sehingga sambil menunggu adik saya
keluar, saya biasanya jalan-jalan melihat-lihat beragam batuan akik yang digelar
di atas lapak masing-masing pedagang. Saat itulah saya mulai menyukai akik
karena keindahan ragam corak dan warnanya. Waktu itu gak pernah beli sih, belum
punya uang sendiri soalnya, sehingga hanya berjongkok dari satu lapak ke lapak
yang lainnya sambil melihat dan niténi atau mengamati cara
pedagang menjual akik dagangannya maupun beragam prilaku orang-orang yang hendak
membeli.
Dari itu saya dapat
satu kesimpulan.
Selepas SMA tahun ’92
lalu, saat mulai kuliah sambil kerja, kegemaran tentang akik pun masih berlanjut
meskipun tetap saja awam dan dengan daya beli di kelas kaki lima, namun selalu
berusaha menambah ilmu dan wawasan seputar akik, yaitu tentang jenis batuannya,
tingkat kekerasannya, corak dan guratannya hingga vibrasi energi alamnya dari
setiap jenis batuan dan kecocokannya dengan vibrasi
pemakainya.
Dan saya pun mulai
mencoba membeli akik untuk saya pakai. Kesimpulan yang saya dapat dari hasil
pengamatan sebelumnya itulah yang saya pakai sebagai trik untuk menghadapi trik
pedagang akik yang nyaris sama antara pedagang satu dengan pedagang
lainnya.
Trik
pertama.
Biasanya saat di
suatu lapak mulai berdatanganbeberapa orang yang mengamati ragam batuan yang
ditawarakan, maka pedagangnya akan mengambil salah satu akiknya, mengangkat
seolah mengamati dan sekaligus melontarkan pujian atas aki tersebut. Misalanya :
“Apik phyrus iki !” sambil mimik
mukanya mengaguminya. Jika sudah demikian, biasanya orang-orang yang berkerumun
pun mengalihkan perhatiannya pada akik yang dipegang dan dipujinya, sehingga
tanpa sadar pikiran mereka akan memberikan atensi untuk mencari di mana letak
bagus dan indahnya akik tersebut dan ujungnya pikiran mereka biasanya juga akan
menyetujui bahwa akik tersebut memang bagus dan indah, serta pantas ditebus
dengan harga yang disebutkan oleh penjualnya.
Kalau saya, saat
pedagangnya sudah mulai seperti itu, ya no reken alias saya acuhkan saja dan tetap
pada akik yang menjadi perhatian saya yang biasanya memang jauh lebih bagus dan
indah bila dibandingkan dengan akik yang dia puji-puji itu. Menawarnya pun
dengan cara seakan saya gak pengen banget terhadap akik pilihan saya. Gak diberi
ya sudah, saya tinggal. Biasanya malah saya dipanggil lagi dan dia menyetujui
melepas dengan harga yang saya tawar. YES !!!
Trik
kedua.
Para pedagang itu
meyakini konsep pelaris dalam arti bahwa kelarisan dagangannya diawali oleh
pembeli pertama yang bertransaksi di lapaknya, sehingga pembeli pertama yang
datang diusahakan melalakukan transaksi. Maka kalau saya mau beli akik pasti
mencari pedagang yang baru buka lapak, sehingga dengan gaya menawar yang gak
butuh dan dengan harga tawar yang rendah, biasanya si pedagang akan
merelakannya. Misalnya dia menawarkan harga 75 ribu, maka saya cukup menawar
dengan harga 15ribu dan itu pada akhgirnya disetujuinya. YESSS lagi
!!!
Entah sekarang hal itu
masih berlaku atau tidak, sebab sudah lama gak pernah lihat-lihat lapak batu
akik, meskipun beberapa saat lalu sedang ngetrend.
Tapi,,, terima kasih
ya… Panjengan sudah ngirimi saya akik dengan lingkar cincin
18.
he… he… he… matur
nuwun dulu, kalau bingung mau dikirimke alamat mana, bisa japri saya. Matur
nuwun lho….