Jujur… saya sering tergoda. Tergoda untuk ingin menggoda.
Menggoda syetan agar menggoda saya hingga saya tergoda, agar nantinya segala
resiko yang ada saya tumpahkan dengan mempersalahkan si syetan dan dia pasti
tak bisa berkutik.
Jujur pula saya suka makan syetan khususnya syetan hitam,
sebab di jalan Karangmenjangan Surabaya saya mempunyai langganan penjual jujur
kacang ijo dan jujur syetan ireng.
Halah….
Kalau lihat anak kecil, saya ulangi, jujur saya sering
tergoda untuk menggodanya. Terlebih anak kecil yang sedang asyik bermain dengan
barang permainannya. Mungkin sudah ratusan kali saya menyaksikan reaksi yang
sama yang mereka ekspresikan dan dari situlah saya belajar kepada mereka.
Begini ceritanya…
Anak kecil usia balita (bawah lima puluh tahun, he… he..
he… yang ini sih anak besar), untuk bergembira itu gak perlu mainan elektronik
yang mahal, tak perlu juga gadget canggih besutan merek ternama, namun cukup
dengan apa saja yang ada di dekatnya yang itu menarik baginya, maka barang
tersebut sudah menjadi maianan yang menggembirakannya.
Kalau sudah asyik bermain, cobalah Panjenengan goda
dengan meminta mainannya dan lihatlah apakah reaksinya juga sama dengan reaksi
yang sering saya temui pada mereka. Dalam pengamatan saya, saya niteni bahwa mainan yang sedang
dipegangnya dan yang sedang diminta akan segera diamankan dengan gerakan
menarik mainan itu ke arah dada, bahkan kalau dia merasa tingkat ancaman untuk
merebut mainannya semakin besar, maka mainan tersebut akan didekapnya di dada.
Demikiankah yang Panjenengan amati ?
Gerakan itu spontan, naluriah dan di situlah saya
menemukan makna, tetapi sekali lagi sebagaimana biasanya hal ini adalah #jareku.
Dada memang istrimewa apalagi dada ayam, halah… jadi
makanan. Kaum perempuan pun sekwildanya (sekitar
wilayah dada) selalu menarik bagi para lelaki, he… he… he… jadi ngomongin
diri sendiri, maulu ah....
Dada itu wilayah terluar dari apa yang diistilahkan
sebagai hati, wilayah penyimpanan data-data perasaan yang muncul sebagai reaksi
dalam menanggapi suatu aksi yang diterima oleh manusia. Dada kalau dalam
terminologi Qur’an diistilahkan shadr,
lebih dalam lagi qalb, lebih dalam
lagi ada fuad dan kemudian yang
terinti lub. Saya yakin Panjenengan
lebih memahami dan tentunya sudah mengalami sendiri keempat lapisan kalbu
tersebut.
Maka dada merupakan sesuatu yang paling utama dalam
kehidupan kita baik secara ragawi karena ada organ jantung di dalam sana dan
juga secara ruhani yaitu diri kita yang sejati, spirit dan tentunya tuhan kita, Gusti Allah. Di dadalah tersimpan
sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan kita.
Bumi dan
langitKU tidak bisa menampungKU, namun hati hambaKU yang beriman bisa
menampungKU, begitu firman Allah dalam hadits qudsiy yang saya tahu.
Maka benarlah yang saya temui sebagimana yang saya
tuliskan di awal.
Yang berharga selalu didekap di dada dan itu membawa
bahagia. Lalu apa yang lebih membahagiakan selain mendekap dan menghadap
padaNya di kedalaman dada kita sendiri di bilik terdalam dari jantung kita
sendiri ?.
Mendekap di dada, itulah sendhakep kalau dalam bahsa Jawa.
Sendhakep
Bukankah salah satu gerakan shalat juga ada sendhakep-nya, meski ada yang
sendhakepnya di perut, di dada atas atu pun di diafragma. Dan rupanya gara-gara
niteni itu tadi saya juga menemukan
hal baru di sendhakep yang sudah
sering saya lakukan tiap harinya.
Saat shalat, saya menghadap siapa, menghadap ke mana dan
di mana ?
Saya sering mendapat pertanyaan seperti itu dari mereka
yang ingin memahaminya dan pertanyaan itu saya jawab dalam sebuah diskusi
pinggir jalan, karena saya sendiri juga masih meraba-raba, yang belum tentu
pemahaman saya itu tidak benar he… he… he… Namun sering juga tidak pernah saya
jawab, saat yang bertanya hanya sebatas memperbandingkan dengan pendapatnya sendiri
dan yang pada akhirnya meyakinkan dirinya sendiri kalau apa yang dia yakini itu
sudah benar sedangkan yang lain keliru.
Kalau yang kedua itu, biasanya pertanyaannya sering terlontar dari mereka yang nggetu
berhakikat tetapi tanpa mau bersyariat, dalam arti mereka yang sudah merasa
sampai ke Gusti Allah dan mengenalNya dengan sebenar-benarnya, seperti sebagian
dari para penghayat kebatinan.
Pertanyaan tersebut juga sering terlontar sebagai kontra
atau perlawanan yang ditujukan kepada mereka yang merasa
sangat bersyariat, namun prilakunya tak menunjukkan hasil sholatnya yang
semestinya sudah terjaga dari perbuatan keji dan mungkar.
Kalau menurut saya sih.. pertanyaan kuwi ya benar ya kurang tepat juga. Benar saat tujuannya adalah
menggoda saya agar tergoda umtuk memasuki kedalaman diri saya sendiri,
menelusuri rasa saya sendiri. Namun kurang tepat juga kalau dilihat dari
logika bahasanya.
Tuhan itu dalam perspektif pikiran kan abstrak, sesuatu
yang tak nyata, lha kalau pertanyaannya seperti itu berarti
semakin mengokohkan ketakadaan Tuhan. Yang meyakini dan paham tentang Tuhan,
tentunya tak akan menggunakan tata kalimat seperti itu. Sebab tentang arah,
tentang tempat dan tentang waktu, itu kan merujuk pada makhluk. Sedangkan Tuhan
kan yang meciptakan makhluk, jadi semestinya tak ada pertanyaan seperti itu.
Bagaimana sesuatu yang tak terbatas dapat dipahami dengan logika pikiran yang
sangat terbatas. Sehebat-hebatnya pikiran manusia, dia takkan pernah bisa memproduksi
agama yang menginformasikian tentang Tuhan, yang mengatur semua aspek kehidupan
dan yang menginformasikian tentang kehidupan, kematian dan kehidupan setelah
kematian. Nah kalau yang disebut agama tak seperti itu, jangan-jangan itu bukan
agama melainkan sekedar filosofi dalam bingkai budaya, sebab pikiran manusia memang
hanya sanggup sebatas itu.
Lha di mana sendhakepnya
?
Di sini…
Gusti Allah itu kalau katanya guruku SD dulu ada di
mana-mana... lho berarti Gusti Allah itu banyak, begitu pikiran kecilku.
Ketoprak, ludruk, lenong, sendratari atau juga yang lain,
perlu sebuah panggung untuk pementasannya. Dalam pementasan itu pun memerlukan
durasi waktu tertentu untuk melakonkan skenario ceritanya. Begitulah metrafora
makhluk ciptaanNya, yang memerlukan ruang bagi eksistensi semunya dan juga memerlukan
waktu untuk menjalani skenario kehidupannya.
Ruang dan waktu adalah makhlukNya juga, lalu bagaimana
mungkin DIA memerlukan dan berada di dalam ruang dan waktu ? Ruang dan waktulah
yang berada di dalam-Nya. Allahu Akbar, Allah maha besar... tetapi mestinya
Allah maha lebih besar dari segala apa pun, mungkin seperti itu.
Jadi kalau Gusti Allah itu ada di mana-mana, sebenanrnya
ya begitulah karena apa pun kan selalu berada di dalamNya dan diliputi olehNya,
sehingga mestinya saya pun bisa menemukan dan merasakan kehadiranNya di setiap
apa pun, sayangnya masih belum.
Kalau Gusti Allah ada di mana-mana, itu berarti juga
tidak di mana-mana, karena hakikatnya Gusti Allah tidak memerlukan ruang dan
waktu ciptaanNya, sehingga Gusti Allah tidak hadir di dalam ruang dan waktu,
namun ruang dan waktulah yang secara nyata terus menerus hadir di dalam DIA.
Mana sendhakepnya ?
Sebentar...
Orang bilang (apa Panjenengan tahu siapa yang bilang ?)
ilmu sosial itu ilmu yang tidak pasti, karena obyek yang dipelajari adalah
manusia dan prilakunya yang pastinya tidak ada rumusan yang benar-benar baku.
Sebaliknya ada yang disebut ilmu pasti seperti ilmu
biologi dan turunannya, ilmu fisika dan turunannya serta ilmu kimia dan
turunannya. Disebut ilmu pasti sebab obyek yang dipelajari dapat diformulasikan
dalam sebuah rumus yang pasti. Namun bagi yang memperdalam lagi tentang fisika
kuantum, maka akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa puncak dari kepastian
ilmu itu adalah ketidakpastian, sebab saat memasuki level terkecil dari alam
semesta pasti akan bertemu dengan sebuah samudera kemungkinan yang memang tak
bisa dipastikan prilakunya.
Dari semua itu, kalau mau membuka pikiran pasti akan
sampai pada suatu kesimpulan bahwa apa pun obyek yang diamati pasti tidak
terjadi dengan sendirinya, pasti tidak berjalan dengan sendirinya namun ada
suatu kekuatan dan mekanisme yang tak terjangkau dan itu adalah Tuhan.
Belajar apa pun pasti ujung-ujungnya ketemu Tuhan, meski
mungkin bagi penganut atheis tidak memakai istilah Tuhan, namun kesimpulannya
tetaplah sama, ada sesuatu yang super yang menggerakkan ini semua.
Kesimpulan tentang Tuhan melalui makhluk ciptaanNya yang
ditempuh melalui suatu disiplin ilmu adalah pengenalan yang berjarak
tentangNya. Mengenal Tuhan melalui makhlukNya. Tuhan masih sebatas ilmu,
sebatas informasi, seperti informasi kalau nyala api itu panas, belum mengalami
sendiri panasnya api.
Katanya sebentar, mana sendhakepnya ?
Iya ini...
Sebagaimana telah saya tuliskan di atas, bukankah yang bisa menampung Gusti Allah itu “hati” atau “kalbu” hambaNya ? Bukankah hati itu sendiri ada empat wilayah mulai terluar
hingga terdalam ? Shadr, qalb, fuad dan lub. Semua itu software, yang motherboardnya di wilayah “dada” dan pusat hardwarenya adalah “jantung”.
Lha kalau saya ingin memperdalam lagi mengenal Gusti
Allah, tidak bisa kalau hanya mengandalkan logika pikiran saja, melainkan harus
mulai mengalami Gusti Allah sendiri dan itu #jareku berawal dari menghayati
rasa yang bersumber dari dalam dada.
Gusti Allah sendiri menginformasikan bahwa kedekatanNYA
dengan manusia lebih dekat dari urat lehernya sendiri [QS. 50:16]. Para leluhur
orang Jawa mengungkapkan dalam sebuah ujaran : “cedhak tanpo senggolan, adoh tanpo wangenan”, yang berarti dekat
tanpa bersentuhan, jauh tanpa berjarak. Hemm….
Hal itu kan berarti Gusti Allah itu manunggal atau nyawiji, namun tidak mungkin kalau
kemanunggalan itu secara wujud, sebab Gusti Allah itu sifatnya “mukhalafatuhu lil hawaditsi” (berbeda
dari seluruh makhlukNya), yang orang Jawa bilang “tan kena kinaya ngapa”, tak terumuskan oleh kata dan tergenggam
oleh makna. Jadi artinya, kemanunggalan itu dalam rasa, manusia sangat
termungkinkan mengalami Gusti Allah melalui rasanya, di dalam dadanya, di lubuk
hati terdalamnya.
Apakah bisa seperti itu ? Ya jelas tidak bisalah… lha
wong “laa haula wa laa quwata ilaa billah”
~ tak ada upaya dan kekuatan kecuali bersama Allah. Ini kan prinsip tauhid… “laa ilaha ilallah” ~ tak ada selain
Allah. Wis.. pokoknya ya Gusti Allah tok.
Lha terus bagaimana donk ? Cukuplah membuka hati, dengan
niat meleburkan diri padaNya. Makhluk itu obyek, sedang Tuhan itu subyek. Jadi
makhluk itu pasif, kata kerjanya berawalan DI, sedang Tuhan berawalan ME,
beres… ringan jadinya. Gusti Allah itu menggerakkan, menjalankan dan
mendekatkan sehingga saya bergerak, berjalan dan dekat. Berarti
saya digerakkan, sangat ringan bila dibandingkan bergerak sendiri. Saya
dijalankan, sangat mudah dari pada berjalan sendiri. Saya didekatkan, sangat
gampang dibandingkan bila mendekat sendiri.
Tuhan selalu menjadi sebab dan tak pernah sebagai akibat, itulah hakikatnya, wilayah hati. Karena Gusti Allah berkehendak
mengampuni, maka saya digerakkan dan tergerak untuk bertaubat. Kare Gusti Allah
berkehendak untuk memberi, maka saya digerakkan dan tergerak untuk meminta.
Maka… Duh Gusti… perkenalkanlah diriMu kepadaku agar aku
bisa mengenalmu, cintailah aku agar aku bisa mencintaiMu, hampiri aku agar
kubisa dekat padMu.
Terserah... monggo kerso... sekehendakMu...
Tinggal mengupayakan dengan bersandar pada rahmatNya,
menembus, merayapi dan memasuki “dimensi materi” dada dan kemudian lebih dalam
lagi, jantung. Menghayati dan merasakan detaknya terus menerus sambil
beriringan namaNya. Masuk lebih dalam lagi menembus “dimensi immateri”nya,
yaitu kalbu atau hati.
Menelusuri sampai di bilik yang terdalam, tersunyi namun
sekaligus juga terramai. Setiap orang pastinya berbeda merasakan dan
memaknainya, sesuai kadar dan volume penghayatannya dalam mengalami Tuhan. Hal itu
akan lebih mudah terkondisikan saat seseorang berjeda dari rutinitasnya, sesaat
melepaskan segala urusannya dan menyerahkan diri kepadaNya dengan shalat.
Shalat merupakan sujud peniadaan diri di hadapanNya.
Sadar bahwa yang ada hanya DIA dan itu sangat membahagiakan saat mengalaminya. Lalu apa lagi yang
lebih membahagiakan selain mendekap dan menghadap atau sendhakep dan ngadhep padaNya di
kedalaman dada kita sendiri di bilik terdalam dari jantung kita sendiri ?
Maka, setelah takbir saya pun sendhakep memeluk jantung dan bertumpu di perbatasan antara rongga
dada dan perut (diafragma). Sendhakep
dan ngadhep, nyatanya sangat
membahagiakan.
Semoga Panjenengan semua dipanggil, digerakkan. dikenalkan
dan didekatkan olehNya, agar hati menemukan terangnya, agar iman menemukan
persemayamannya, agar akal menemukan kejernihannya, agar rasa menemukan
ketepatannya dan agar nurani tak teralingi hasrat diri. Saya nunut.
---------
Telegram Channel : https://t.me/denBAGUSotre
Jadi ingat buku menuju sadar kepada Allah MSKA, tentang kembali ke subyek
ReplyDelete