“Ojo moyok, mundak
nemplok” --- “Ojo geting mundak
nyanding” --- “Ojo cidro mundak
ciloko”
Selalu saja takjub saat dihadapkan pada ujaran-ujaran
singkat dari khasanah kearifan Jawa. Bagaimana tidak, bagi saya ujaran-ujaran
singkat tersebut adalah buah dari suatu laku
mengejawantahkan ayat-ayatnya Gusti Allah, baik yang tersurat maupun yang
tersirat, dalam kehidupan nyata.
Buahnya berupa kesimpulan dalam kalimat singkat sarat
makna, tentu saja hanya bagi mereka yang bersedia mengilmuinya.
Saya sendiri termasuk awam dalam hal agama, namun saat
saya menemukan ujaran-ujaran yang tidak hanya bermuatan filosofis namun juga
selalu bernuansa teologis tersebut, saya lebih mudah dalam memahami agama dalam
tataran praktis dan bukan hanya secara teori saja.
Seperti kutipan saya di atas :
“Ojo moyok, mundak
nemplok” --- “Jangan mencela, agar tak mengalami hal yang sama”
“Ojo geting mundak
nyanding” --- “Jangan membenci, agar tak bersanding dengan yang engkau
benci”
“Ojo cidro mundak ciloko” --- “Jangan
melukai, agar tak celaka”
Lha semua itu kan bicara masalah Tuhan, kesadaran,
pengendalian diri dan kesetimbangan semesta ciptaanNya.
~ Tuhan, kesadaran dan pengendalian diri
Kalau misalnya saya sampai mencela, membenci atau pun melukai, saya pikir
itu berasal dan berawal dari suatu kondisi internal dalam diri saya yang
pastinya sangat tidak nyaman yang biasanya karena saya merasa dirugikan,
kepentingan saya terganggu atau pun karena saya merasa tidak dihargai. Karena
merasa tidak nyaman itulah kemudian saya menutupinya dengan marah dan
terekspresikan dalam prilaku saya, seperti mencela, membenci atau melukai.
Saat saya mencela seseorang, sebenarnyalah bahwa saya sedang meyakinkan
diri saya sendiri bahwa saya lebih baik dari dia yang saya cela, sedangkan
kenyataannya belumlah tentu seperti itu.
Saat saya membenci pun, sebenarnya bahwa saya sedang meyakinkan diri saya
sendiri bahwa saya dalam posisi yang benar dan pantas membenci dia yang sedang
saya anggap mempunyai kesalahan atau pun kekurangan pada diri saya.
Bahkan kalau sampai melukai pun, baik secara psikis maupun fisik, itu pun
sebenarnya adalah manifestasi dari keinginan saya untuk memuaskan diri saya
sendiri, memuaskan nafsu kebuasan saya sendiri, bahwa saya harus menang, bahwa
dia harus menderita dan seterusnya.
Lha itu semua apa
tidak kurang ajar pada Gusti Allah namanya ?
Siapa yang
menciptakan makhluk ? Jawab aja sendiri.
Lalu kalau makhluk
itu berbuat sesuatu, bukankah berarti bahwa perbuatan itu juga merupakan
ciptaan sang pencipta makhluk ? Jawab sendiri juga.
Bukankah segala
pujian hanya untuk Gusti Allah ? Lalu ke mana larinya semua celaan, kalau tidak
ke Gusti Allah juga ? Kalau semua celaan tak juga kembali kepada Gusti Allah,
berarti DIA punya tandingan dong ?
He… he… he… kalau gak
paham gak usah diterusin bacanya… dari pada error nanti.
Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. 37:96]
Beras itu dari padi. Nasi itu dari beras. Jadi nasi itu juga dari padi.
[Begitu saja... gak usah ruwet-ruwet, meskipun sebenarnya bisa juga dibahas
dengan agak lebih ruwet dengan ngomong masalah takdir, syariat dan hakikat,
biasanya menyinggung juga masalah jabariyah, qodariyah dan ahlus sunnah wal
jama’ah.]
Nah... ketemu Tuhan to ?
Maka, orang Jawa juga
bilang “ngono yo ngono, ning ojo ngono”,
harus lentur, segala sesuatu haruslah diilmui, begitu ya begitu namun jangan
juga begitu. Sulit menterjemahkan dalam kata-kata dan juga logika, sebab ini
masalah rasa.
Rasa inilah yang
merupakan jalan untuk mengenalNya. Sebab TUHAN itu takkan pernah dijangkau oleh
otak manusia, sebab bagaimana sesuatu yang terbatas dipergunakan untuk memahami
dzat yang tiada batas ? Kalau untuk mengenal tanda-tanda-Nya yang terpapar di
semesta ciptaanNya cukuplah dengan memakai akal pikiran, sebab memang itu yang
diperintahkanNya.
Namun, saat saya
hanya menggunakan akal pikiran, maka pengenalan saya tentangNya kering karena
sebatas tahu informasi tentangNya, sebab TUHAN hanya sebatas obyek dalam
kehidupan saya, bahkan sering saya jadikan obyek penderita. Lha… kurang ajar
lagi to… ? Mestinya Gusti Allah itu selalu menjadi subyek kehidupan saya.
Sayalah obyeknya yang harus terus menerus berusaha mendekati dan memahami apa yang
DIA mau dalam kehidupan saya. Saya disuruh apa ya sama Gusti Allah di setiap
detik yang saya lalui, di setiap jengkal bumi yang saya lewati dan di setiap
detil peristiwa yang saya alami, saya disuruh ngapain ya ? Kalau saya begini, kira-kira Gusti Allah marah enggak ya ?
Pastinya Gusti Allah
gak pernah zhalim, saya sendirilah yang zhalim. Pastinya lagi, Gusti Allah gak
pernah sia-sia mencipta segala sesuatu, sayalah yang menyia-nyiakannya dengan
berprasangka, menilai dan menghakimi.
TUHAN itu subyek
kehidupan saya dan tentunya kita semua, yang tak akan menjadi subyek saat saya
serta kita tak mempunyai kesadaran.
Kesadaran #jareku, adalah
bagaimana diri kita menyadari dengan sadar seluruh perasaan, pikiran,
ucapan dan tindakan kita dengan menjadikan
Tuhan sebagai faktor penimbang pertama dan utama dalam setiap pilihan serta keputusan
hidup kita di segala situasi dan di semua
kondisi.
Kesadaran itu, #jareku, adalah “taqwa”
dalam bahasa agama atau “eling” dalam bahasa budaya.
Saat saya mengalami fenomena yang menurut saya “tidak mengenakkan” karena
“kepentingan saya” terganggu sehingga saya mempunyai kecenderungan mencela, membenci
atau pun melukai, mestinya saya kan langsung nyadar, langsung eling dan
berpikir serta berprasangka bahwa siapa tahu Gusti Allah memang baru
memposisikan tingkat kesadarannya dia sebatas itu. Atau bisa jadi dia atau
mereka sedang dikirim oleh Gusti Allah untuk melatih, mendidik dan menempa saya
menjadi orang yang bijaksana, sabar dan menyamudera jiwanya.
Atau semestinya bisa juga saya memaknainya sebagai panggung sandiwara
dunia, dalam arti saya, dia dan mereka sedang menjalankan naskah cerita sesuai
peran masing-masing.
Jadi marah ya marah tapi sekedarnya saja, lha wong cuman baca skrip naskah
kok. Benci ya benci tapi sekedarnya saja, lha wong sedang menerjemahkan skrip
cerita kok. Nanti di balik panggung ya guyon lagi, cekakakan lagi, ngopi bareng
lagi.
Mestinya seperti itu, tapi kenyataannya ?
Nah... ketemu kesadaran
to ?
Kesadaran berkait erat dengan akhlaq, prilaku. Saat kesadaran rendah,
pengendalian diri terhadap perasaan, pikiran dan perbuatan saya juga rendah,
akhlaqpun pasti rendah.
Nah... ketemu penegndalian diri to ?
Begitu kira-kira.
~ Tradisi penciptaan,
akhlaq semesta
Selalu ada keteraturan dalam setiap penciptaan dan memang demikianlah
tradisi penciptaan semesta. Keteraturan itulah yang menjadi akhlaq atau prilaku
semesta ciptaanNya. Benda jatuh ke bumi, keterpisahan air dan minyak,
pergiliran waktu siang dan malam, tangisan bayi saat lapar, sakit, pipis dan
eek dan sebagainya adalah akhlaq semesta atau sering disebut sebagai hukum
alam. Padahal itu kan hukum Tuhan ya... ?
Semesta memiliki kesetimbangannya sendiri dalam arti selalu menyeimbangkan
dirinya sendiri. Maka apa pun yang sedang terjadi di semesta seperti gempa,
gunung meletus, bajir atau apa pun itu yang selalu dipandang manusia sebagai
bencana alam, #jareku, adalah upaya semesta untu menyeimbangkan dirinya
kembali. Ibarat sebuah komputer yang sedang “hang” karena sistemnya “crash”,
maka komputer itu perlu di-reset agar restart dan berjalan normal kembali.
Kalau akumulasi kenegatifannya jauh melesat nilainya di atas yang positif, ya
disetimbangkan agar kembali seimbang. Pun demikian sebaliknya. Kalau akumulasi
kepositifannya jauh di atas yang negatif, ya disetimbangkan dengan muncul
berbagai negativitas. Namanya juga dunia, kalau semua negatif berarti selesai
ceritanya dunia dengan menyongsong kiamat. Pun demikian kalau positif semua, ya
syurga namanya.
Sederhana sekali... ojo kagetan, ojo
gumunan, ojo kepinginan... katanya orang Jawa. Yang penting terus menanam
kebaikan, nandur winihing pakerti, di
manapun dan kapan pun juga, agar nanti yang entah kapan itu, yang diunduh (ngunduh wohing pakarti) adalah kebaikan
juga dan bisa jadi yang mengunduh adalah para anak cucu.
Yang jelas, apa pun perasaan saya, seperti apa pun pikiran saya dan
bagaimanapun prilaku saya, selalu ada kontribusinya terhadap akumulasi
kepositifan atau pun kenegatifan di alam semesta.
Maka sekali lagi seperti kutipan saya di atas :
“Ojo moyok, mundak
nemplok” --- “Jangan mencela, agar tak mengalami hal yang sama” | “Ojo geting mundak nyanding” --- “Jangan
membenci, agar tak bersanding dengan yang engkau benci” | “Ojo
cidro mundak ciloko” --- “Jangan melukai, agar tak celaka” | Dan
juga “ngunduh wohing pakarti” ---
“download hasil uploadnya sendiri J”
Adalah salah satu rumus dasar semesta tentang kesetimbangan yang
disampaikan dalam bahasa yang sangat sederhana. Siapa yang menabur akan menuai,
siapa yang menanam akan memanen.
Bukankah Gusti Allah sendiri pun sudah menginformasikan bahwa : kebaikan sebesar biji dzarrah akan ada
balasannya [QS. 99:7] dan kebaikan itu untuk diri sendiri [QS. 17:7]. Pun
demikian kebalikannya bahwa : kejahatan
sebesar dzarrah akan ada balasannya [QS. 99:8] dan kejahatan itu untuk diri sendiri [QS. 17:7].
Yang belajar fisika quantum pasti ngerti kesimpulan sementara ini bahwa
bagian terkecil dari suatu wujud materi adalah quark atom yang di dalamnya itu 99,9999%
adalah kekosongan atau ruang hampa dan yang isi hanyalah 0,0001% saja dan itu
pun berupa gelombang atau vibrasi. Itulah level terdalam dan terhalus dari semua
wujud materi dan sekaligus terdahsyat ledakan energinya. Zero energy field.
Pada level quantum itulah baru ketahuan bahwa bahan dasar setiap wujud
materi adalah sama, ya itu tadi zero energy field. Antara tahu sama tai sama.
Antara manusia dengan kambing sama. Bahan dasar wujud materinya lho ya...
Pada level quantum itu pula baru terlihat bahwa seluruh wujud materi adalah
terhubung atau merupakan satu kesatuan. Ibaratnya begini... lebih dulu mana
adanya anatar udara dan ruang-ruang bangunan ? Tentunya udara, baru kemudian
manusia membangun berbagai macam ruang atau bangunan. Nah, saat ruang atau
bangunan sudah berdiri, apakah udaranya menjadi terpisah ? Tentu saja tidak.
Seperti itulah metafora sederhananya.
Jadi... kowe yo aku, aku yo kowe, sebab kita satu dan menyatu, manunggal atau
nyawiji.
Kalau disepadankan pada diri manusia, ruang hampa atau alam vibrasi itu pada
level quantum itu terletak pada perasaan. Perasaan adalah sebuah wilayah pada
kesadaran manusia yang sangat halus, lembut dan dalam yang mempunyai energi
yang sangat luar biasa.
Manusia tidak menjalani kehidupan di pikirannya, namun manusia menjali
kehidupannya di dalam perasaannya sendiri. Menyusuri kesedihan, kegembiraan,
kebahagiaan, kesunyian, kemarahan dan yang lainnya secara berganti-ganti dan
terus menerus sepanjang hidupnya. Perasaan itulah yang mempengaruhi pola pikir
dan keputusannya dalam berprilaku.
Maka kebaikan atau pun kejahatan yang paling kecil dan mendasar yaitu sebesar
dzarrah tentulah berawal dari perasaan, sebab perasaan adalah wujud persangkaan
dari sebuah situasi yang sedang dihadapi. Situasi itu sendiri kalau menurut
pemahaman saya adalah skenario ceritaNya. Jadi bukankah perasaan itu
persangkaan pada Tuhan ?
Seharusnyalah setiap manusia memahami hal itu, agar senantiasa
berhati-hati, tetap eling atau nyadar dalam menjalani anugerah
kehidupannya.
Dawai gitar tanpa ruang kosong di body gitar, tidak akan menghasilkan efek
suara saat dawai gitar itu di petik dengan suatu nada tertentu. Ruang kosong
itulah yang menggetarkan udara sesuai nada petikan dawai dan menggemakannya
sehingga berbunyi dan terdengar telinga.
Petikan dawai gitar pada nada tertentu adalah ibarat dari perhatian atau
atensi saya terhadap sesuatu. Ruang kosong pada body gitar adalah ibarat
semesta ciptaanNya. Saat dawai saya petik, berarti saat saya memberikan
perhatian atau atensi terhadap sesuatu dan tentunya saya akan terkoneksi dengan
sesuatu tersebut.
Ketika udara ikut bergetar atau beresonansi karena getaran dawai gitar yang
saya petik, tentunya tidak hanya satu udara karena udara adalah bentuk jamak.
Demikian juga koneksi saya terhadap sesuatu yang saya berikan atensi, pasti
juga jamak, dalam arti akan terkoneksi dengan banyak sesuatu yang mempunyai
sifat yang sama, digemakan.
Akhirnya gema udara atau resonansi akibat petikan dawa gitar pun terdengar
nyaring dan sampai di telinga saya. Sama
seperti koneksi saya terhadap sesuatu juga akan beresonansi dengan sesuatu yang
sejenis dan akhirnya direfleksikan kembali ke saya. Sebab saya dan segala sesuatu
di luar saya adalah manunggal, selalu terhubung dan menyatu. Berbuat, bersikap,
berpikir dan berprasangka keapada siapa pun pada hakikatnya adalah berbuat,
bersikap, berpikir dan berprasangka pada diri sendiri dan tentu saja pada Gusti
Allah yang selalu mengawali dengan sebab dan mengakhiri dengan akibat yang
menjadi sebab bagi akibat yang berikutnya lagi dan demikian seterusnya.
Beratensi pada kebaikan akan merefleksikan kebaikan yang berlipat ganda,
pun demikian dengan atensi pada ketidakbaikkan, yang akan merefleksikan
ketidakbaikan dengan jumlah yang berlipat pula, dari segi kualitas atau pun
kuantitasnya.
Semoga Panjenengan semua dan saya dimampukan untuk menjaga hati agar selalu
penuh syukur dan cinta dengan memandang semua peristiwa adalah skenario
agungNya sebagai perintah untuk untuk diilmui dan ditemukan hikmahnya, serta agar
tak naif dengan memandang diri lebih mulia dari sesama cipataan Gusti Allah
yang lain, hingga merasa pantas untuk mencela, membenci, melukai, mezhalimi,
memfitnah dan berprilaku dengan akhlaq yang buruk lainnya.
Atensi ~ koneksi ~
resonansi ~ refleksi.
Begitu kira-kira.
---------