Saat ini. saat saya ingin berprofesi menjadi seorang dokter, kenginan itu
tentunya tidak mungkin terjadi, karena untuk menjadi seorang dokter haruslah
melalui proses perkuliahan yang panjang hingga memperoleh gelar profesi dokter.
Sedangkan saat ini prasyarat untuk itu tidak mungkin saya penuhi. Kalau sekedar
dukun ya bolehlah... he... he... he...
Itulah cerita... suratan takdir, bahwa saya saat
ini dalam hal profesi atau dalam hal pekerjaan bukanlah sebagai seorang dokter
dan tidak mungkin saya mengubah cerita yang sedang saya jalani saat ini dengan
menjadi seorang dokter. Yang bisa saya lakukan saat ini adalah sebatas mengubah
apa yang saya rasakan dalam perasaan saya bahwa saat ini, di sini dan dan dalam
situasi ini haruslah saya terima dengan penuh syukur dan cinta.
Ya... sebatas itu saja, namun yang sebatas itu saja
itu efeknya sungguh luar biasa dalam kehidupan saya. Berkali-kali saya alami
dan berkali-kali pula saya buktikan bahwa banyak kebetulan yang saya alami.
Tentu saja bahwa tidak ada kebetulan yang benar-benar kebetulan kalau saya lihat
dari sudut pandang hakekat karena sejatinyalah semua yang terjadi detik demi
detiknya sudah tertulis dalam pena takdir. Namun karena apa yang
menjadi takdir saya baru saya ketahui setelah takdir itu terjadi, maka dari sudut
pandang syariat, sebenarnyalah saya sebagai manusia diberikan kebebasan dalam
pilihan-pilihan hidup saya. Tinggal niteni,
membaca apa dan bagaimananya untuk kemudian memetakan pola-pola kejadiannya
sebagai hikmah yang memberdayakan serta mengindahkan kehidupan.
Apakah sesederhana itu ? Tentunya tidak, sebab semua tentunya kembali pada diri kita masing-masing. Yang saya sebutkan itu kan sebagaimana biasanya... jareku... yang selalu kira-kira begicu.
--------------------
KESADARAN SEJATI
Apakah sesederhana itu ? Tentunya tidak, sebab semua tentunya kembali pada diri kita masing-masing. Yang saya sebutkan itu kan sebagaimana biasanya... jareku... yang selalu kira-kira begicu.
--------------------
KESADARAN SEJATI
Sangkan-paran, hulu-hilir, asal-tujuan
Adakah yang tak berasal dari Gusti Allah ? Ada
pulakah yang tak kembali pada Gusti Allah ?
Kalau ada yang berpendapat ada yang tak berasal dari Allah, berarti ada tuhan lain selain Allah. Pun demikian kalau ada yang berpendapat ada yang tak kembali kepada Allah, berarti ada tuhan lain selain Allah. Tentunya tidak demikian bukan ? Karena, bukankah semua milikNya dan akan kembali kepadaNya ?
Bukankah yang termasuk milikNya adalah apa yang ada di timur dan juga di barat, serta ke manapun saya menghadap, hakikatnya saya menghadap wajahNya ?
Bukankah juga Allah menciptakan makhluk sekaligus dengan perbuatannnya ?
Maka adakah alasan yang bisa diterima saat saya mencaci, membenci dan bahkan menista makhlukNya dengan segenap diri saya ? Saya boleh ingkar dalam tataran wujud seperti perbuatan atau ucapan seseorang yang tidak dalam kerangka kebaikan, namun secara hakikat saya harus tetap menerima kemakhlukannya, kemanusiaannya.
Saya sering mengatakan dengan : kun adalah awal cintaNYA, fayakun adalah perwujudan cintaNYA, Panjenengan yang sering mengikuti tulisan saya pasti paham bukan ? Maka sebenarnya kehidupan saya adalah sebuah perjalanan melingkar, menggerakkan cinta dariNya, bersama denganNya dan menuju kepadaNya, melampaui kesementaraan dan kefanaan ruang dan waktu, untuk mengabadi dalam keabadianNya.
Karena ruang dan waktu sejatinya adalah kefanaan belaka bila dihadapkan pada wujudnya Gusti Allah, maka itu berarti yang sebenar-benarnya ada adalah hanya Gusti Allah, yang lain tidak ada. Itulah subhanallah.
Namun saat kesadaran diri mengalami bahwa apa pun ciptaanNya tak ada yang tak bermuatan DIA, maka saat itulah kesadaran subhanallah akan beranjak naik bahwa sejatinya seluruh makhluk hakikatnya adalah DIA juga. Itulah alhamdulillah.
Siapa pun dalam hal apa pun takkan pernah sampai pada kesimpulan ADA tanpa mengalami TIADA.
Sakit itu bagi saya tidak ada, apa sakit itu ? Tidak ada, karena mulai lahir saya tidak mengenal konsep mengenai sakit dan saya tidak akan "ngeh" meskipun orang lain bilang tentang apa itu sakit. Suatu saat saya mengalami suatu kondisi yang disebut sebagai sakit, mengalami dan merasakan sendiri, maka saat itulah saya akan menyimpulkan bahwa sakit itu ada ternyata, setelah saya mengalami sakit itu tidak ada, ya seperti yang saya alami dan rasakan ini.
Maka saat TUHAN yang sebenar-benarnya tuhan hadir, saya rasakan dan saya alami sendiri sebagai sesuatu yang tak terumuskan oleh kata, tak juga tergenggam oleh makna, namun membuncah dalam rasa saya, maka saat itulah kesadaran "subhanallah" yang berlanjut pada kesadaran "alhamdulillah" menemukan muaranya pada "ilallah" setelah "laa ilaha", yang Gusti cuma ALLAH. Kemudian memuncak dalam kesadaran ALLAHU AKBAR, Gusti Allah itu maha besar, melebihi besarnya wujud makhluk atau pun sifat makhluKNYA.
SYAHADAT
Persaksian - menyaksikan - merasakan – mengalami
Dari, bersama dan menuju kepadaNya. Diawali dengan syahadat yang secara lisan, ibarat sebuah resepsi pernikahan dengan Gusti Allah, sebagai awal perjalanan, namun juga tidak cukup dengan itu, karena bersaksi itu bukan sekedar sebuah persaksian belaka namun seharusnya menyaksikan. Menyaksikan itu berarti merasakan dan mengalaminya sendiri secara langsung, terus menerus sepanjang perjalanan.
Untuk apa ? Ya tentunya untuk kembali.
Kembali ke mana ? Kembali ke fitrah, ke kemurnian
dan ke kesejatian.
Adakah yang fitrah - murni - sejati selain Allah ?
Maka dari, bersama dan menuju kepada Allah itu berarti berusaha terus menerus meniadakan diri di hadapan keakbaran Gusti Allah, terus menerus berlatih meleburkan diri di dalam kemahatunggalanNya, serta terus menerus belajar berselaras dalam kehendakNya dengan memahami tradisi penciptaanNya atau sunatullah.
Syahadat inilah yang merupakan kesadaran terluas sekaligus terdalam, yang mengawali, membersamai dan mengakhiri perjalanan kehidupan. Inilah jalan cinta, jalan persembahan, jalan pengabdian, jalan kebahagian yang hakiki dan jalan taqwa. Bukankah yang taqwa selalu selalu diberikanNya jalan keluar dan rejeki dari arah yang tak diangka ? Bukankah itu maunya DIA, sehingga manusia sebenarnya tak usahlah menagih janjinya atu melekat pada jaminanNya itu, cukuplah menyibukkan diri dalam segala hal berlandas taqwa, itu saja.
:: Inilah wilayah mahakosmos, nyawiji-manunggal-tauhid, level spiritual, dengan tugas menyaksikan dalam kesadaran cinta dan dengan pelayanan pada Tuhan.
ABDI
Mengabdi - berakhlaq – merahmati
Pada tataran yang lebih praktis, tentunya pula wilayahnya lebih sempit dan lebih dangkal, sebagaimana kehendakNya, saya sebagai manusia diciptakan dalam rangka mengabdi padaNya, Gusti Allah. MelayaniNya dengan jalan melayani semesta ciptaanNya, kata orang Jawa: hamemayu hayuning bawana, atau rahmatan lil 'alamin - menjadi rahmat bagi semesta alam.
Rahmat bagi semesta alam, bukan bagi diri sendiri. Rahmat Allah selalu terpancar tanpa jeda tanpa sela, namun belum tentu menjadi manfaat untuk semesta, bila rahmat itu saya serap hanya untuk melayani diri saya sendiri.
Misalnya shalat. Shalat tidak akan menjadi berlah bagi semesta saat shalat saya tujukan untuk melayani diri sendiri, bahkan Gusti Allah pun saya lupakan dalam shalat saya, karena niat mendasar saat shalat bukanlah mengabdi pada Gusti Allah, melainkan mengabdi oada diri sendiri yaitu mencari ganjaran atau fadhilah atau pahala atau syurga. Kalau sudah seperti itu, malah tidak mungkin shalat saya bisa memberkahi semesta. Nilai-nilai dalam shalat tak mungkin saya aplikaaikan dalam keluarga, masyarakat atau dalam berbangsa dan bernegara. Tak mungkin pula saya aplikasikan dalam segenap aspek kehidupan seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan seterusnya. Maka hasilnya adalah kehidupan yang kering, jauh dari makna, nilai dan ruh shalat, maka pula yang terjadi adalah kerusakan dan kerusakan meski dari luar tampak indah namun di dalamnya penuh kebusukan yang siap menjadi sampah untuk dibakar, bukan dengan api cintaNya melainkan dengan adzabnya api nerakaNya.
Maka, rahmatnya Gusti Allah itu seharusnya saya serap untuk menjadi berkah manfaat bagi semesta. Semesta itu siapa ? Ya tentunya semua yang di luar diri saya dan untuk itu tidak bisa tidak kecuali saya harus berakhlaq.
Berakhlaq terhadap Tuhan dan berakhlaq dengan akhlaqnya Tuhan dalam berakhlaq kepada semesta.
Misalnya, bahwa Gusti Allah itu maha mensyukuri - maha berterima kasih, tetapi coba saya renungkan... bagi manusia terima kasih juga bersyukur itu kan setelah menerima sesuatu, nah apa pernah dan apa perlu Gusti Allah itu menerima sesuatu dari makhluqNya sedang DIA sendiri yang hakikatnya memberi makhluqNya ? Tentunya tidak bukan ?
Misalnya seperti ini, saya beribadah, seakan-akan saya mempersembahkan ibadah saya kepadaNya, kemudian Gusti Allah mensyukuri ibadah saya, lha ini kan lucu, sebab seluruh makhluqNya tak ada yang beribadah pun tidak akan berpengaruh bagiNya. Semestinya kan karena Gusti Allah merahmati saya maka saya digerakkan untuk beribadah kepadaNya, jadi syukurnya Gusti Allah itu kan bukan karena menerima ibadah saya tetapi kemahasyukuranNya itu adalah dengan memberikan rahmatNya kepada saya, karena DIA pemilik segalanya. Syukur itu memiliki dan melepaskan apa yang dimiliki sebagai awal sebuah transfirmasi apa pun itu.
Sama seperti sedekah, karena kemahasyukuranNya itulah saya dirahmati, dimampukan dan digerakkan untuk bersedekah.
Maka, seharusnyalah saya berakhlaq kepadaNya dengan meniadakan diri saya, menisbahkan seluruh yang saya anggap sebagai kekuatan, kepandaian, kebesaran saya dan seterusnya itu kepadaNya. Kemudian berusaha, belajar dan berlatih berakhlaq kepada semesta dengan akhlaqNya, salah satunya adalah seperti contoh tadi yaitu syukur. Tidak hanya berterima kasih saat menerima sesuatu, melainkan adalah bersyukur di awal dengan merasa kaya dengan sebenar-benarnya kaya, sehingga ringan - plong dengan melepas apa yang dipunyai dengan memberikan kepada semesta siapa pun itu.
Sekecil apa pun, meski sequark atom sekali pun,
kebaikan atau pun juga ketidak baikan pasti akan kembali ke diri sendiri dan
seberapa kecilnya, juga pasti ada balasannya.
:: Inilah wilayah makrokosmos, jagad gedhe, level mental, dengan tugas pengabdian dalam kesadaran akhlaq dan dengan pelayanan pada semesta ciptaanNya.
AMAL
Berbuat baik, amal-imbalan, perdagangan
Biasanya, hal tersebut meruapakan wilayah tersempit dan terdangkal, namun juga tidak berarti tidak baik, melainkan hanya cukup.
Kenapa ? Karena biasanya aktivitas itu sebatas untuk melayani diri sendiri, seperti berdagang untuk mengambil laba bagi diri sendiri, beribadah demi menumpuk pahala pribadi, berkhotbah demi nafsu ingin diikuti, mengajar demi nama besar dan begitu seterusnya. Jadi pertimbangannya adalah apa yang kuperoleh saat keberbuat ?
Itu saya, saya yakin Panjenengan tidak.
Maksud saya, tidak beda dengan saya.... he... he... he...
Mengapa demikian ? Karena yang bekerja adalah kesadaran pikiran yang dengan dualitasnya selalu memperbandingkan, selalu menakar dan selalu berdagang, serta selalu menilai dan menghakimi. Yang bekerja juga kesadaran hukum, dalam arti berbuat suatu kebaikan hanya berdasarkan keterpaksaan oleh aturan, bukan karena kesadaran diri.
Apakah tidak benar ? Ya tidak juga, namun takarannya adalah cukup. Bisa jadi takarannya kurang apabila hawa nafsu sudah menguasai pikiran, sehingga yang penting untung, jaya, besar, menang tanpa menimbang bagaimana caranya, tanpa perduli juga akan kerugian, kebangkruta, kekalahan dan penderitaan semesta akan perbuatannya.
Berdagang saja, andai tidak untung (impas) bukankah berarti tidak rugi, namun berkuasanya hawa nafsu atas pikiran biasanya akan mengatakan rugi.
:: Inilah wilayah mikrokosmos, jagad cilik, level fisik, dengan tugas berbuat baik dalam kesadaran pikiran/hukum dan biasanya sebatas melayani diri sendiri.
Maka.... seberapa luas dan indah cerita atau suratan takdir yang sedang berlaku atas diri saya, dari sisi syariatnya tergantung pilihan saya dalam menentukan atau meniatkan wilayahnya, mahakosmos, makrokosmos ataukah mikrokosmos.
Saat aktivitas mengajar saya, saya tujukan untuk memperoleh penghasilan, maka hanya sebatas penghasilan itulah yang saya peroleh. Bekerja sebagai amal saya dan uang sebagai imbalannya. Wilayah mikrokosmos, sebatas melayani diri sendiri.
Namun kalau wilayahnya saya perluas dengan meniatkan bahwa mengajar itu untuk menghebatkan orang lain, memuaskannya misalnya, maka hidup saya semakin luas. Dengan menghebatkan orang lain, maka mereka menjadi bahagia (makrokosmos, melayani semesta). Karena itu pekerjaan saya, saya pun tetap memperoleh penghasilan (mikrokosmos). Cerita saya semakin luas dan indah dengan bergeser ke wilayah makrokosmos, sedangkan mikrokosmosnya tetap tercakup.
Akan semakin luas dan indah, saat bergeser lagi ke wilayah mahakosmos, dengan beraktivitas karena Allah, sehingga insya Allah DIA ridho, orang lain puas bahagia dan saya pun tetap dapat penghasilan dari aktivitas itu.
Contoh sederhana yang terus menerus saya latih salah satunya adalah untuk sadar saat lapar. Meskipun hanya membeli sebungkus nasi untuk mengganjal perut saya sendiri, namun langsung saja perluas niatnya ke wilayah mahakosmos. Niat karena Allah untuk menjaga amanah raga (mahakosmos, semoga Allah ridho), dengan jalan berbagi rejeki (makrokosmos, agar penjualnya senang dagangannya laku) dan beraksi dengan membeli dagangan nasi bungkusnya (mikrokosmos, perut saya kenyang). Hal ini tak akan terjadi, hidup menjadi lebih luas dan indah, saat hanya bergerak di wilayah mikrokosmos.
---------------
Sebagaimana yang saya sampaikan di awal, Gusti Allah itu sak karepe dewe alias semau gue. Bagaimana tidak ? Lha memang Tuhan itu semaunya sendiri, masak menuruti maunya manusia ciptaanNya ? Sekali pun tak akan pernah. Gusti Allah itu awal sebab, tidak pernah menjadi akibat.
Saat doa dipanjatkan oleh si hamba dan kemudian doa itu terwujud dalam realita nyata, apakah wujud doa itu akibat doanya si hamba ? Secara syariat iya, "berdoalah akan kukabulkan", namun hakikatnya adalah karena DIA berkehendak untuk memberi si hamba (sebab hakiki), maka DIA gerakkan pula si hamba untuk berdoa (akibat hakiki) yang menjadi sarana bagiNya mewujudkan pemberianNya.
Maka jangan pernah menakar anugerahNya dengan amal ibadah kita, jangan pula membatasi rahmatNya dengan kerdilnya pikiran kita, jangan pernah pula menyombongiNya dengan ilmu kita, apalagi menggugat ceritaNya untuk kita dengan berbagai keluhan.
Berlatih terus menerus untuk berserah diri, gak mikir... mbuh... terserah Allah... puasrah...., melepaskan penilaian terhadap apa pun dan siapa pun, menjaga perasaan agar tetap positif, meniatkan aktivitas apa pun untukNya, melayani semesta ciptaanNya semampunya dengan hati yang lega, menjadikan doa sebagai sandaran berserah diri akan pilihan terbaik dariNya dan selalu berorientasi pada proses, menikmati dan bersungguh-sungguh dengan ikhtiar terbaik yang bisa dilakukan.
ALLAHUMMA MBUH.... sakkersa Panjenengan Gusti.... dalem manut. Bagi Panjenengan yang mengikuti tulisan say asejak dulu pasti tahu dengan doa itu.
Kejadian kemarin pun memberi hikmah pada saya, bahwa memang Gusti Allah itu sesuai apa yang diyakini oleh hambaNya. Dari dulu saya yakini kalau Gusti Allah itu sak karepe dewe, maka itulah yang DIA buktikan berkali-kali dalam cerita yang saya jalani.
Yang penting menjaga hati selalu penuh syukur dan cinta... dan memaknai cerita apa pun yang sedang dialami dengan positif, misalnya kebentur meja spontan njeplak... "rejeki....", anak meminta sesuatu spontan ngomong... " beres" dan sebagainya.
Melihat apa pun yang positif ikut merasakan senengnya dan memberikan perhatian tanpa menginginkan. Seneng mengagetkan orang dengan pemberian yang tak disangkanya. Seneng melempar doa kebaikan untuk orang lain. Begitulah seterusnya... insya Allah membahagiakan. Kalau sudah bahagia, insya Allah sehat, selamet dan sejahtera.
Sebagaimana saya sampaikan di awal : Tinggal niteni, membaca apa dan bagaimananya untuk kemudian memetakan pola-pola kejadiannya sebagai hikmah yang memberdayakan serta mengindahkan kehidupan.
Begitu pun kejadian kemarin.
Kebetulan bulan Oktober '16 dalam kelas semi privat MOVE ON [menghijrahkan niat, meniatkan hijrah] salah satu materi yang saya share adalah "manifestasi positif", yaitu merasakan seneng dulu dari target yang direncanakan, pakai bingitz senengnya, baru kemudian menuliskannya pada sesobek kertas, kemudian disimpan untuk kemudian dilupakan agar tidak melekat dan kemudian menyempurnakan ikhtiar dengan sebaik-baik dan sesungguh-sungguh ikhtiar sebagaimana biasanya.
Kalau untuk seneng atau pun bahagia harus menunggu punya ini itu atau bisa ini itu, maka betapa menderitanya hidup ini. Kalau punya target tapi menilai diri sendiri tidak mungkin mencapainya atau bahkan membatasi anugerahNya bahwa target itu tidak mungkin terjadi, maka rasanya akan lebih menderita lagi hidup ini.
Maka kenapa tidak kita hadirkan dulu saja rasa seneng atau bahagia itu sebagai rasa syukur dari mewujudnya target. Jadi target itu diwujudkan dulu di rasa, bukan di pikiran, sebab kalau di pikiran pasti akan banyak penolakan dari dalam diri kita sendiri.
Nah... karena yang tahu pasti yang terbaik untuk kita adalah DIA, maka target apa pun yang kita punyai jangan sampai melekat, dalam arti jangan sampai membuat kita berkehendak mendikte Tuhan atas keinginan atau target kita. Serahkan saja padaNya apa yang terbaik untuk kita. Target cukup ditulis, untuk kemudian dupasrahkan kepadaNya dengan merelakan tentang kapan, di mana dan dalam bentuk apa target itu akan terwujud. Tidak usah dipikirkan karena masih menjadi misteri Ilahi. Yang patut diseriusi adalah bagaimana kita menyiapkan wadahnya agar pantas menerimanya.
Sebagai contoh saat itu saya tuliskan : "SENENG BANGET BISA MENGUMROHKAN IBUKU BULAN JANUARI 2017. MBUH PIYE CARANE... TERSERAH ALLAH SAJA."
Suatu harapan yang tidak masuk di akal, karena aslinya saya jauh dari mampu untuk mewujudkannya, apalagi hanya dalam tempo 2 bulan. Namun itulah kenyataannya. Mengharap ridhoNya, fokus targetnya bukan untuk saya sendiri, melainkan ibu saya (customer oriented) agar bisa merasakan bahagianya beribadah mendekat padaNya (satisfaction oriented), selanjutnya terserah DIA.
Setelah itu, saya benar-benar melupakannya sampai saat Maret '17 apa yang saya tuliskan itu terwujud. Pena takdirNya memperjalankan saya beserta ibunda ke tanah suciNya. Sesuatu yang woow banget.
Baru saya ingat kemudian bahwa saya pernah memproyeksikan dalam sebuah kalimat di sesobek kertas, yang setelah saya cari kertas tersebut masih terlipat rapi di sela-sela buku saku tempat saya menuliskan harapan dalam cerita kehidupan saya. Buku saku itu ada dalam tas.
Ya... 5 Maret kemarin saya dapat instruksi untuk berangkat bersama ibu saya, besoknya hari senin mulailah berproses mengurus segala sesuatunya tentang itu, mulai dari mendaftar dan melunasi di biro travelnya, pengurusan paspor dan visa, serta vaksinnya. Kepastian tanggal berangkatnya, yaitu 21 Maret 2017. Tujuh puluh juta dikuasakan ke saya untuk biaya itu semua dan maaih ada sisa dua juta seratus ribu rupiah.
Kalau tanggalnya sudah pasti, saya kan tinggal tidak memikirkan tentang bekal uangnya, karena kalau dipikir juga tidak bisa. Terserah wis Ya Allah... saya manut, bolehlah kalau ada dua puluh juta untuk persiapan keperluan sebelum berangkat termasuk untuk keperluan rumah selama saya pergi, termasuk untuk bekal uang sakunya.
Alhamdulillah... begitulah yang terwujud.
Rejeki datang dari arah tak disangka-sangka, tersedia begitu saja kurang dari 2 minggu sebelum kepastian tanggal keberangkatan melalui orang-orang yang juga sedang digerakkan pena takdirNya untuk menyampaikannya ke saya. Tak kurang dari sembilan puluh juta, tersedia begitu saja. Suatu jumlah yang bagi saya sangat fantastis.
Andai saya memang tersedia dana segitu, juga belum
tentu bisa sampai di tanah suciNya, karena bisa jadi akan saya pakai untuk
keperluan yang lain.
Demikianlah adanya, Gusti Allah sak karepe dewe.
SEMOGA Gusti
Allah memperkenalkan diriNya kepada Panjenengan semua, agar Panjenengan semua
mengenalNya dan bergegas menuju ke padaNya dengan hati yang rindu penuh cinta
bukan dengan hati yang semrawut dan takut. SEMOGA
pula Panjenengan semua sirna terbakar oleh api cintaNya bukan api adzabNya. Saya nunut.
Begitulah kira-kira. Mohon maaf lahir batin.
:: TAQOBALALLAHU MINNA WA MINKUM ::
---------------
BAGUS
herwindro, yang sedang berlebaran di desa kelahiran mertua, Klaten,
Yogyakarta.
IG |
@bagusherwindro
Facebook
| https://web.facebook.com/masden.bagus
Fanspage
| https://web.facebook.com/BAGUSherwindro
Telegram
| @BAGUSherwindro
TelegramChannel | @denBAGUSotre
Path |
https://path.com/id/bagusherwindro