Alhamdulillah, hari
Rabu kemarin tanggal 23 Juli 2015, Gusti Allah telah memberikan kesempatan,
kemauan dan kemampuan untuk sowan kepada Beliau, Ayahanda Ruhani kita,
Syaikhina wa mursyiduna wa murobbi ruhina Syaikh Charir Muhammad Sholahuddin Al
Ayyubi bin Syaikh Abdul Djalil bin Syaikh Mustaqiem bin Husein.
Kala itu yang
berangkat dengan tanggal yang sama dari kelompok Ketintang Surabaya yaitu saya
sendiri, Pak Ibnu Sikit, Pak Mudiono dan ibu, Pak Sofa Dwi Purnomo, Cak Fayzun
D. Syahrial, Cak Fathon Reza Gamal, Cak Nanang Wahyu Riyono, Cak Dedy Irawan,
Kang Mamat Rahmat dan Ning Nurliasari, juga Ibu Narulita Puspitasari dan putra
putrinya, serta Ibu Pratiwi. Meskipun tidak berangkat secara bersamaan,
alhamduliullah dapat masuk Pondok dengan waktu yang relatif bersamaan yaitu sekitar
pukul 09.30.
Alhamdulillah begitu
masuk dapat langsung salim dengan Yai
Mursyid, sekilas memandang wajah Beliau dan langsung mencium punggung telapak
tangan – telapak tangan – punggung telapak tangan Beliau. Di setiapnya,
sebagaimana yang lalu-lalu, saya pribadi selalu merasakan sebuah kesejukan yang
membasuh jiwa, getar-getar aneh menjalari rahsa saya. Seketika itu merasakan
diri ini begitu hinanya, begitu zhalim dan kufurnya di hadapan Gusti Allah,
namun seketika itu juga merasakan syukur yang tak terhingga, sebab DIA, Allah,
telah memberikan pertolongan yang luar biasa dengan menutup segala kehinaan
yang melekat pada diri saya dengan di-gandol-kan
dalam dekapan ruhani Yai Mursyid. Didikannya, panduan serta perlindungannya
sering mewujud nyata dalam rahsa saya di sepanjang perjalanan yang saya lalui
selama ini.
Saya rasa Panjenengan
semua pun mengalami apa yang saya rasakan, meskipun dalam intensitas rahsa dan
pemaknaan yang berbeda-beda.
Sebagaimana biasanya
pula, para tetamu dan juga kami semua dipersilahkan duduk di ruang tengah yang
terletak di belakang musholla Pondok. Sudah tersaji berderet-deret berbagai
jajanan dalam wadah toples gelas berbentuk tabung. Sesaat kemudian suguhan
minuman sirup pun disajikan. Sirup warna hijau dalam gelas kaca kecil. Tak
menunggu lama, sajian makan pun telah hadir di hadapan kami semua. Sepiring
soto dengan suwiran daging ayam dipadu mie suun dan irisan wortel. Kerupuk
rambak di atasnya, menambah sedapnya sajian yang saya rasakan di lidah sayah.
Alhamdulillah, sajian yang luar biasa, penuh keberkahan karena disajikan dalam
balutan welas asihnya Yai Mursyid dan dimasak dengan kualitas tirakat yang luar
biasa di mana selalu diiringi dzikir dan diserta kondisi yang selalu dalam
keadaan wudhu.
Menurut informasi
dari Kang Wasik, tak kurang dari 2.000 tamu per hari yang sowan ke Pondok Peta
selama open house Lebaran. Apalagi
kalau H+7 saat Lebaran Ketupat, tamu yang datang sowan bisa sampai 7.000 orang.
Suatu hal yang sangat luar biasa bagi saya. Bukan hal yang mudah untuk
mengelola berbagai hal dalam rangka memuliakan tamu yang datang terutama dalam
hal mempersiapkan suguhannya. Perlu kesiapan bahan mentah, bahan pendukung,
tenaga yang memproses masakannya, tenaga penyaji dan tenaga pembersih yang
semua itu harus terkoordinasi dengan baik. Perkiraan waktunya / timingnya pun
harus tepat. Itu setiap hari. Bagaimana pula saat H+7, berapa banyak ketupat
yang harus disiapkan ? Berapa rupiah untuk itu, berapa bayak waktu dan tenaga
yang tersita untuk hal itu ?
Pernahkah kita memikirkan
kesibukan Pondok dalam momen-momen seperti itu atau pun momen yang lain saat
para tamu berdatangan sowan ? Pernahkah kita tergerak untuk membantu
meringankan semua hal itu ?
Kalau saya pribadi,
jujur, saya tidak pernah memikirkannya sama sekali. Yang ada di pikiran saya
cuma bagaimana saya bisa sowan bertabarruk
atau ngalap barokah yang tentu saja
untuk kepentingan pribadi saya.
SAYA SOWAN UNTUK
MELAYANI DIRI SAYA SENDIRI.
Astaghfirullah, nyuwun duko ingkang katah Yai.
Panjenengan itu Guru Mursyid kami, tapi malah Panjenengan yang memuliakan kami,
melayani dan menjamu kami. Welas asih Panjenengan tak habis-habis, segala
derita kami Panjenganlah yang mengkaliskan dan Panjenengan jugalah yang paling
memikirkan keselamatan hidup kami dunia akhirat, namun sebaliknya kami masih
sangat sering abai atas dawuh Panjenengan dengan berbagai alasan udzur yang ada
pada diri kami.
.:: laqad jaa-akum rasuulun min anfusikum 'aziizun 'alayhi maa 'anittum hariishun 'alaykum
bilmu/miniina rauufun rahiim, fa-in
tawallaw faqul hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa
'alayhi tawakkaltu wahuwa rabbu l'arsyi l'azhiim ::.
------------
Tibalah kemudian
kesempatan untuk ke sarean untuk doa
tahlil yang dipimpin oleh Abah Sikit. Setelahnya, sebelum masuk waktu adzan
dhuhur ternyata keluar lagi satu suguhan dari Pondok, yaitu sepiring bubur
merah dan putih.
Bagi saya bubur itu
merupakan nasihat untuk terus menerus mudik ke asal muasal kita semua yang
sekaligus menjadi tujuan akhir dari perjalanan kehidupan ini (sangkan paraning dumadi) yaitu Gusti
Allah. Bubur merah dan putih merupakan symbol asal kejadian jazad kita, yaitu
melalui perantaraan ibu (bubur merah) dan ayah (bubur putih). Kalu kita
telusuri terus kejadian dari ibu dan ayah kita berasal dari nenek dan kakek
kita dan demikian setrusnya ke belakang sampai manusia ciptaan pertama. Itu
jazad kita. Bagaimana dengan ruh yang menghidupi jazad ini ? Ya tentunya dan
pastinya semua berasal dan akan kembali pada Gusti Allah.
Sebagaimana susunan
alam semesta yang di tiap bendanya selalu mengorbit ke pusat gravitasinya
masing-masing dan demikian seterusnya sampai pada pusat gravitasi terkuat di
alam semesta yang mungkin itu adalah Arsy-nya Allah, maka ruhani kita pun
kira-kira demikian. Harusnya kesadaran ruhani kita harus mengorbit ke pusat
gravitasi terdekat kita yaitu Guru Mursyid kita, agar kita juga ikut katut mengorbit ke kesejatian hidup
kita, yaitu Allah, hingga nantinya dapat mudik dengan selamat.
------------
Setelah melaksanakan
shalat Dhuhur berjamaah di mushola Pondok, tibalah saatnya untuk berpamitan.
Kalau bisa jangan pernah lupa untuk hurmat pada Yai Mursyid dengan apa yang
sudah dikaruniakan Allah pada kita.
Alhamdulillah saat
pulang saya bisa nyuwun “garam cinta” pada Kang Wasik buat bekal perjalanan
yang biasanya banyak hal-hal tak terduga di sepanjangnya.
Wis ngono wae.