#0
Belum
berpuasa sudah sibuk berhariraya.
#1
Karena
dibelenggunya syetan pada saat Ramadhan inilah, wajah syetan yang sesungguhnya
lebih tampak nyata dalam realitas fisik yang kasat mata. Wajahnya seperti
wajahku, sama.
#2
Mall
dan resto akan lebih banyak dan lebih dulu disapa saat maghrib. Tuhan, biasanya
baru disapa sedikit di sisa waktu menjelang Isya', itu pun kalau tak terlupa.
#3
Betapa
sulit meruhanikan jiwa meski berpuasa sekalipun, saat di tiapnya selalu tergoda
oleh nikmatnya kepungan propaganda kuliner yang kini telah digayahidupkan.
#4
Selezat
apa pun beragam makanan dan minuman, mulut tak akan bisa menerimanya saat semua
dicampur menjadi satu, namun tak demikian dengan perut yang tak pernah
membedakan rasa. Mulut adalah simbol syahwat, pelampiasan, perut adalah simbol
kesejatian. Demikian pula kehidupan, hendak memperturutkan syahwat ataukah
mencari kesejatian.
#5
Bukan
pada variabel jumlah yang berfungsi untuk mengenyangkan dan menguatkan, bukan
pula pada kandungan gizi yang untuk menyehatkan,namun kadar keberkahan dalam
makanan itulah yang hakikinya menjadi hal utama yang menjadi kebutuhan tubuh
manusia dan itu bisa dinilai saat sedang berpuasa. Cukup dengan sedikit ataukah
masih harus dengan banyak atau bahkan berlebih ?
#6
Seenak
apa pun makanan atau minuman, enaknya hanya saat di lidah, sebentar dan
sedikit, sebab makin banyak jumlahnya kadar enaknya pun makin sedikit.
Demikianlah seluruh. peristiwa kemakhlukan, selalu terbatas dan dibatasi,
bergilir dan berganti-ganti, tak ada yang abadi, akan sirna dan pasti lebur di
hadapan GUSTI.
#7
Secara
fisik, puasa melatih manusia untuk tak tergantung pada makanan hingga membuat
dirinya kuat, mengerti batas minimal kebutuhannya dan batas enak di lidahnya,
tentu saja bagi yang mau mengilmuinya. Lauk tempe pun terasa nikmat asalkan
dinikmati dan tak berpikir tentang daging saat memakannya..
#8
Makan
setelah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang merupakan rumus aplikatif di
segala aspek dan level kehidupan, agar dunia hanya sebatas dalam genggaman
tangan saja, tanpa keterikatan dan kemelekatan.
#9
Tak
sekedar menunda atau menahan, namun sejatinya adalah mengendalikan.
Mengendalikan segala hal, seluruh peristiwa, semua aspek dan level kehidupan
yang cenderung sia-sia, berlebihan dan melampaui batas.
#10
Andai
ada pilihan, pasti lebih suka tak puasa, demikian pula kewajiban lainnya.
Namun, pada keengganan itulah nilai kemulian dari-Nya, saat manusia bisa
mengungguli dirinya sendiri, mengungguli enggannya menjadi taatnya, mengungguli
taatnya menjadi butuhnya dan mengungguli itu semua menjadi semata karena cinta
kepada-Nya.
#11
Kalau
setelah berjeda beberapa jam saja manusia begitu gembiranya bertemu saat
Maghrib, maka bagaimana pula rasa bahagianya saat berjumpa dengan Gustinya ?
#12
Puasa
itu jeda, berhenti sejenak, mengambil jarak dari segala keterikatan dan
kemelekatan materi agar diri kembali meruhani sebagai awal kembali ke Yang Maha
Suci.
#13
Tubuh
kita bukan kita, pun demikian dengan pikiran, perasaan dan seluruh instrumen
diri yang lainnya, yang mungkin sangat jarang kita perhatikan dan sadari. Puasa
adalah jeda, momentum untuk mengenali kembali mana bagian diri yang sejati yang
akan kembali ke GUSTI dan mana pula yang hanya sebatas lebur ke anasir
pembentuknya.
#14
Berkesadaran
penuh dalam meniti waktu subuh-maghrib dengan menikmati jalannya waktu yang
seakan melambat tanpa mempercepatnya sekali pun dengan berbagai hal yang
melalaikan, insya Allah akan mempercepat mencahayanya seluruh instrumen dalam
diri kita.
#15
Bila
saja perintah sahur yang diakhirkan dan berbuka yang disegerakan, dipahamkan
dan diresapkan serta dicari rasanya dalam hati, insya Allah "krenteg"nya hati akan selalu
waspada agar maunya kita berselaras dengan kehendaknya Gusti Allah dengan tidak
menyegerakan yang diakhirkan-Nya dan tidak pula mengakhirkan yang
disegerakan-Nya.
#16
Di
imsyak ada batas antara, di subuh ada batas awal, di maghrib ada batas akhir.
Di setiap lipatan kehidupan demikian juga adanya, selalu ada batas bagi yang
jujur dan berani mengilmuinya. Pada batas itulah terletak keindahan hidup,
sebab di situlah Gusti Allah menampakkan kehendak-Nya agar manusia mencari
titik sejatinya di dalam semua kesemuan anggapan atau prasangkanya. Mencari
tidak dalam iyanya atau iya dalam tidaknya, mencari sudah dalam belumnya atau
belum dalam sudahnya, mencari anugerah dalam cobaannya atau cobaan dalam
anugerahnya, mencari taat dalam maksiyatnya atau maksiyat dalam taatnya dan
demikianlah seterusnya.
#17
Yang
tampak mata belum tentu demikianlah adanya. Sebagaimana lahir yang tampak
berpuasa, jiwa belum tentu berpuasa juga dari segala hasrat selain hasrat
kepadaNya. Maka benarlah puasa itu untukNya, sebagai hikmah bahwa ada DIA di
segala ujung perjalanan, dengan pengetahuanNya, keadilan dan ampunanNya, serta
dengan segala kemahaanNya yang kita mengemis kepadaNya.
#18
Laparnya
perut sangatlah jelas rasanya sebab letaknya di tubuh, namun laparnya ruh
jarang yang mau mengacuhkan sebab letaknya di dalam rasa. Hati menjadi resah
dan gelisah tak tentu arah, saat keyakinan pada Tuhan, kejujuran pada nilai
kebaikan dan kesetiaan pada jalan keselamatan tak lagi menjadi pegangan.
#19
Laparnya
perut karena terpaksa biasanya mengalutkan pikiran, namun laparnya puasa
mestinya malah mengheningkannya sekaligus menenangkan jiwa serta mengendapkan
rasa. Maka, nikmatnya berbuka memang menggembirakan namun akan lebih lagi
bahkan juga membahagiakan saat dimampukan untuk menuai makna dan menggemgam
hikmah tentang apa saja di sepanjang perjalanan puasa tadi. Semoga.
#20
Puasa
itu personal, sunyi dan intim antara hamba dengan Tuhannya, tak terlihat
bentuknya, tak ada gerak, ucapan dan hitungannya, serta tidak bisa dilakukan
berjamaah. Yang jelas manusia selalu di posisi obyek dan Gusti Allah pasti
subyeknya. Maka memposisikan diri sedemikian itu dengan amal yang dalam bahasa
kesadaran berawalan DI bukan ME, biasanya sangat membantu meringankan langkah
menuju pada-Nya, sebab kita meniadakan diri kita di hadapan-Nya, karena memang
hakikinya kitalah yang selalu DIlihat, DIdekatkan, DImampukan, DIperjalankan,
DIangkat, DIuji dan seterusnya oleh-NYA.
#21
Kalau
dalam puasanya manusia menemukan bahwa di hadapan Gustinya dia selalau dalam
posisi DI, maka semestinya dia juga menemukan bahwa dalam kebaikan di antara
sesamanya dia berposisi ME dalam rangka pengabdiannya pada Gustinya.
MEnghormati bukan minta dihormati, MElayani bukan dilayani, MEnyantuni bukan
disantuni, MEndahulukan bukan didahulukan dan demikian seterusnya.
#22
Perlu
kesungguhan mempertahankan kesadaran agar tak lagi terlelap saat bangun sahur.
Fase kritis antara tidur menuju ke bangun sebab masih ada kantuk di antaranya.
Pun demkian dengan seluruh level dalam setiap pertumbuhan kesadaran manusia,
selalu ada fase kritis yang memerlukan kehatihatian, kesungguhan, kerendahhatian
dan tentunya kepasrahan agar tak terlelap tidur lagi setelah bangun dan juga
agar tak jumawa saat telah terbangun dari fase tidur.
#23
Kalau
dalang saja bersabar memainkan wayangnya mulai awal hingga akhir sesuai urutan
kisahnya, bagaimana pula dengan Gusti Allah. Kesabaran-Nya tak mungkin
terjangkau oleh manusia, menggelar lelakon kehidupan bermilyar-milyar tahun
cahaya entah sampai kapan. Maka dalam bahasa manusia, GUSTI pun berpuasa.
#24
Sebab
masih ada malu, larangan yang tampak mata bisa dihihindari saat berpuasa dan
itu mudah. Yang sulit adalah menghindarkan hati ini dari rasa rendah diri,
bersangka buruk, menghakimi, meremehkan, mencela, marah, bangga, sombong, riya
dan takabur, meski sedang berpuasa
sekalipun.
#25
Yang
berpuasa semestinya lebih bisa menilai diri, masih perlukah syetan menggoda
dirinya untuk berlaku zholim meski sebesar quark atom sekali pun, ataukah
dirinya yang perlu menggoda syetan agar nantinya bisa dikambinghitamkan atas
kezholimannya meski sebesar quark atom sekali pun. Syetan tak punya pilihan
untuk menjadi cahaya sebab takdirnya sebagai api, pada manusialah pilihan itu
ada, hendak melebur ke dalam api ataukah bertransformasi menjadi cahaya ?
#26
Puasa
yang semestinya sunyi dari hingar bingarnya keinginan yang tanpa batas, yang
semestinya senyap dari riuh rendah gebyarnya dunia dan yang semestinya sepi
dari pesta poranya topeng kepalsuan, nyatanya masih saja menampakkan
wajah-wajah kemewahan di balik perjalanan puasanya masing-masing. Mulai sahur
hingga berbuka, mulai subuh hingga tarawih dan mulai awal puasa hingga
berpuncak di hari raya. Eksistensi berpuasanya melebihi esensi puasa itu
sendiri, eksistensi beragamanya melampaui esensi agama itu sendiri dan eksistensi
hari rayanya melampaui esensi kefitrian itu sendiri.
#27
Kalau
taqwa berarti keteguhan, kekuatan dan keistiqomahan diri dalam menghadap Gusti
ALLAH dan mengutamakan-NYA dalam setiap keadaan diri, dalam setiap
pertimbangan, pilihan dan keputusan hidup ini, tanpa jeda detik demi detiknya
selama napas masih terhembus dan jantung masih berdetak, maka entah harus puasa
berapa ratus tahun lagi agar diri ini bisa menggapai taqwa ?
#28
Lailatul
Qadr. Andai saat itu Gusti Allah mengijabah seketika SATU SAJA permintaan kita
yang khusus dan spesifik, APA YANG KITA PINTA ? Kebingungan, kebimbangan dan
pertimbangan yang panjang menunjukkan bahwa kita sendiri pun sebenarnya tak
pernah tahu tentang kehidupan kita, karena teralalu lama dan seringnya kita
meng-ON-kan diri kita sendirt dengan meng-OFF-kan Tuhan kita, Gusti Allah.
#29
Saat
mampu menemukan keheningan dalam puasanya, niscaya manusia sadar sedang diperjalankan olehNya, sebagai
aktor dengan lawan main aktor-aktor yang lain dalam sebuah drama panjang
kehidupan yang mungkin penuh tragedi. Bila demikian, tentunya terkikis habis
segala luka batinnya, seluruh trauma jiwannya dan semua kegelapan masa lalunya,
lalu legalah hatinya karena mampu memaafkan [seluruh aktor lawan mainnya] dan
tibalah bahagia sebab telah rela menerima dirinya apa adanya.
#30
Ramadhan
semestinya merupakan proses peningkatan kesadaran kehambaan manusia yang akan
berpuncak pada idul fitri yang sekaligus akan menjadi awal kembali ke tahap
berikutnya. Semoga Gusti Allah menerima penghambaan kita semua. Taqoballahu
minna wa minkum, taqobal Yaa Kariim.