Saya itu gak suka selfie, sebenarnya bukan gak suka
sih… tapi lebih karena HP saya aja yang kameranya gak bagus dan gak ada kamera
depannya lagi, maklum HP saya meski android tapi termasuk HP jadul untuk saat
sekarang ini. HP Andromax C punyanya smartfren yang dulu harganya cuman tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah, sudah sekian tahun tapi masih awet, Cuma batrenya
saja yang sudah harus ganti, tapi rasanya HPnya juga waktunya ganti biar gak
terlalu lemot he… he… he…
Sama teman-teman
kantor pun HP saya termasuk kasta terendah, namun demikian saya selalu
mensyukurinya karena kemudian tergerak untuk mengopreknya dan mengganti custom ROMnya dengan Samsung S5. Jarang
lho yang punya gadget tapi bisa mengotak-atik gadgetnya hingga lebih berdaya
guna.
Bagi saya yang
terpenting adalah fungsinya, gak usah yang macam-macam, yang penting bisa buat
telepon, sms, adzan, WA, BBM, eMail, Facebook, Instagram, Google Maps, Browsing,
beli tiket KA, pesan taksi Blue Bird, Go-Jek, buka Al Hikam, buka dokumen office
terutama word sama excel, buka e-book format PDF dan bisa explore network
kantor. Sudah itu saja cukup. Itu saja ?
Jadi matur nuwun lho
kalau tiba-tiba saja Panjenengan tergerak untuk mengirimi saya HP baru yang
fungsional. Tapi jangan dipikir lho ya… nanti jadi kepikiran ngirim betulan lho
he… he… he… jangan dipikir !
--------------------
Manusia sebagaimana
makhluknya Gusti Allah yang lain, pasti memiliki keterbatasan dalam arti
terbatas dan dibatasi dalam hal apa pun, tak pernah tetap dalam suatu keadaan.
Dinamis, namun hanya sesaat-sesaat saja, merasakan enaknya makanan pun ya hanya
saat makanan itu masih ada di lidah, selanjutnya hanya perut yang merasakan
kenyangnya.
Yang pasti terbatas
dan dibatasi adalah jatah detak jantung, saat jatah tersebut habis maka selesai
sudah kehidupan yang kita jalani di dunia ini dan akan mengawali kehidupan untuk
fase berikutnya dan berikutnya lagi hingga di negeri akhirat yang pada akhirnya
pun juga pasti akan berakhir.
Meski negeri akhirat
itu kekal, namun kekalnya kan bukan kekal dengan sendirinya melainkan kekal
dalam kekekalan Allah dalam arti kekalnya dikekalkan Allah, ia akan kekal selama
masih dikekalkan Allah. Kekekalannya berakhir bila Gusti Allah
menghendakinya.
Hanya Gusti Allah
yang kekal. Manusia tidak kekal. Manusia tahu kalau dirinya tidak kekal, namun
diam-diam banyak yang menginginkannya. Manusia diam-diam tidak terima kalau
kehidupannya dibatasi oleh kematian.
Bahkan kehidupan itu
sendiri pun sejatinya tidak ada, karena adanya diadakan olehNya. Hanya DIA,
Gusti ALLAH saja yang sebenar-benarnya ada. Manusia ngéyél kalau dia ada sehingga menyatakan
ke-ada-annya di mana-mana, selalu ingin eksis dan diakui
eksistensinya.
Tak abadi namun ingin
abadi, tak ada namun merasa ada. Itu saya. Panjenegan tidak. Maksud saya tidak
beda he… he… he…
Beberapa hal yang
coba saya rasakan, saya pahami dengan niténi [mengamati secara empiris] diri
saya sendiri, kira-kira begini …
Manusia mempunyai
kecenderungan takut untuk hidup sendiri, seorang diri tanpa siapa pun yang
mendampingi. Maka manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup berpasangan,
menikah, bukan hanya untuk menyalurkan hasrat seksualnya namun lebih jauh dari
itu adalah untuk mendapatkan keturunan. Ada yang sudah lama menikah namun belum
dikaruniai anak, maka mereka akan berusaha bagaimana caranya biar bisa punya
anak, baik secara medis atau pun non medis. Bahkan ada yang tidak sabar,
memvonis istrinya mandul meski pun tidak selalu demikian karena bisa jadi yang
mandul adalah suaminya, sehingga suaminya menikah lagi untuk mendapatkan anak
meskipun sebenarnya juga mencari “enak” sebelum anak.
Coba saja digali
motivasinya punya anak apa ? Atau coba kita gali motivasi diri kita sendiri
untuk punya anak itu apa ? Setiap pernyataan yang keluar tentang motivasi punya
anak harus dikejar terus hingga memperoleh motivasi yang paling mendasar. Coba
Panjenengan gali motivasi Panjenengan masing-masing kenapa kok inginnya punya
anak hingga sampai pada motivasi yang paling mendasar.
Apa ? Sudah menanyai
diri Panjenengan sendiri ?
Bahkan banyak
orangtua menyematkan namanya menjadi bagian dari nama anaknya. Yang pebisnis
berharap anaknya meneruskan bisnisnya. Yang memiliki profesi tertentu pun
demikian, berharap salah satu anaknya ada yang meneruskan profesinya. Bahkan
yang jadi dukun pun berharap ada anaknya yang meneruskan perdukunannya.
Orang tua
menginginkan anaknya yang melanjutkan kisah hidupnya, melanjutkan
kebaikan-kebaikannya. “Biar ada yang jadi penerusku !”, begitu mungkin kalau
dilisankan.
Kira-kira, jareku, dalam ketaksadaran
tersembunyinya, kebanyakan manusia tidak rela kalau harus mati dan terhenti dari
kehidupannya, sehingga dia diam-diam ingin meneruskan eksistensinya kepada
anaknya. Dia ingin ada sesuatu dalam masa kehidupannya yang tetap dikenang dalam
kehidupan yang sekarang, berupa apa pun itu. Dia, manusia, diam-diam ingin
mengabadi meski masa kehidupannya telah berlalu. Intinya adalah ingin tetap ada
dan diakui.
Tidak hanya dalam hal
punya anak untuk meneruskan eksistensinya. Kebanyakan manusia, termasuk saya
sangat senang kalau disanjung “awet muda”, masalah raga, padahal usia tak bisa
dihentikan berjalannya menuju titik akhirnya. Ini yang sering terlupa sehingga
dalam melalaui waktu menuju titik akhirnya, keselamatan meniti jalan pulang
malah terabaikan padahal ini yang sejati. Yang diseriusi malah urusan raga agar
tetap terlihat muda bahkan meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Tak
mau terlihat tua. Intinya juga sama, ingin tetap ada dan diakui meskipun hanya
sekedar fatamorgana.
Nah… yang satu ini
juga merupakan ketaksadaran tersembunyi manusia, termasuk saya terutama, yang
ingin abadi dan tetap diakui keberadannya yaitu selfie. Saat ini, saya rasa semua
orang sudah menjadi fotografer karena kebanyakan HP selalu ada kameranya. Kalau
saya Tanya kenapa kok harus foto segala, mungkin jawabannya adalah untuk
mengabadikan kenangan. Kenangan itu masa lalu yang sudah gak ada namun ada
keinginan untuk mengabadikannya dan tetap membuatnya ada yaitu salah satunya
melalui media foto.
Ini lho aku… aku ada
di sini lho… keren kan aku… dan sebagainya, begitu mungkin yang ada di pikiran
saat berselfie ria dan mengunggahnya
ke media sosial apa pun itu.
Saya gak mau percaya
kalau saya sebenarnya gak ada, saya gak mau tahu kalau yang sudah berlalu sudah
gak ada dan saya gak mau kalau eksistensi saya gak ada yang mengakui. Tidak
untuk mensyukuri, tidak pula untuk memberi teladan, namun hanya sekedar ingin
dipuji atau setidaknya untuk pencitraan diri. Maka saya sering-sering
mensyiarkan kehebatan saya, kepandaian saya, kemoderenan saya, peran saya, citra
diri saya dan saya saya yang lain yang sebenarnya semu ke banyak orang dengan
bersolo selfie atau pun selfie berjamaah melalui berbagai media
sosial itu. Diam-diam saya menikmatinya… he… he… he… asoy.
Hasil foto selfie saya, asalkan telaten dan sabar mengamati ternyata
ganteng juga ya… tak heran banyak yang jatuh hati pada saya…. Halah
!
--------------------
Saya teruskan
menelusuri diri saya sendiri dan jadi malu, masih penuh
nafsu.
Saya punya anak, saya
harapkan menjadi amal jariyah bagi saya saat saya ajarkan suatu kebaikan pada
mereka. Kalau saya sudah meninggal, saat mereka melakukan hal baik yang saya
ajarkan, saya mengharapkan mengalirnya pahala kebaikan dari hal
itu.
Bagaimana tidak
memalukan kalau :
Yang saya niatkan dan
harapkan adalah terus mengalirnya pahala tanpa saya melakukan pengabdian pada
Gusti Allah, bukan niat untuk terus mengabdi padaNya. Berarti saya melayani diri
saya sendiri, bukan melayani Gusti Allah. Apa gak malu saya
?
Bagaimana tidak
memalukan kalau :
Saya mengajarkan
kebaikan pada anak saya dengan niat agar menjadi amal jariyah untuk saya dan
bukan dengan niat agar anak-anak saya melakukan kebaikan itu dalam rangka
mengabdi padaNya. Berarti saya melayani diri saya sendiri, bukan melayani Gusti
Allah. Apa gak malu saya ?
Bagaimana tidak
memalukan kalau :
Saya berangapan bahwa
amal saya bisa menebus surga keridhoanNya, padahal saya sekali pun tidak pernah
menciptakan amal. Padahal meskipun amal kebaikan saya masih melebihi keburukan
atau dosa saya, surplus jumlah tersebut tidak akan cukup untuk menebus segala
karuniaNya pada diri saya.
Benar-benar memalukan
bukan ?
Duh Gusti nyuwun
ngapuro.