“Cak…. yok opo
Cak, urip kok cik angéllé !!!” seru Srundul tiba-tiba dalam sebuah obrolan di
beranda rumah Cak ZhudhrunH malam itu bersama si Semprul dan Ning
Ayu.
“Sumpek aku Cak,
lihat berbagai ragam berita di negeri ini yang ndak ada kejelasan sama sekali.
Rasanya ada pemerintah atau pun gak ada ternyata tak ada bedanya. Rakyat kecil
macam aku, makin hari makin susah. Sementara yang besar-besar yang seharusnya
posisinya di bawah rakyat malah bancak’an seenak-enaknya sendiri. Negeri ini
dijual habis dan dibagi-bagi antar mereka sendiri. Rebutan tiada henti. Atas
nama uang yang sudah menjadi tuhan dalam kehidupan mereka, rakyat kecil macam
aku ini kalau dianggap ngrecoki, halal
darahku untuk ditumpahkan, wajib hukumnya nyawa dipisah dari raga bahkan
dengan
cara yang keji layaknya bukan manusia. Penegakan hukum hanya menjadi
mimpi di siang bolong, kesejahteraan rakyat secara keseluruhan hanya sekedar
bualan omong kosong….”, dengan tutur yang emosional Srundul menumpahkan perasaan
hatinya, “Orang miskin gak boleh sakit, sebab biaya berobat mahal. Sekolah bagus
juga mahal, apalagi sampai perguruan tinggi, tak terjangkau biayanya. Belum lagi
agama dijual murah dan dijadikan dagangan….!!!”
“He… he… he…”, Cak
DhrunH hanya tertawa saja mendengarnya, “Masih kalah sama Semprul kamu Ndul,
meskipun rejekinya lebih kacau dari kamu, dia gak sampai sumpek seperti
itu.”
“Lha wong AKU
kok…”, kata Semprul menyahut umpan yang diberikan Cak
Dhrunh.
“Suombongé rék,
ati-ati Mprul, sombong itu bolonya setan lho…”, jawab si Srundul
sewot.
“Ha… ha.. ha… kan
memang aku sudah lama jadi bolomu.”, sahut si Semprul tak mau kalah, maka
serentak pun mereka spontan tertawa semua.
Tiba-tiba Ning Ayu
dengan senyum manisnya yang selalu terkembang berkata, “Cak Ndul… Kang Semprul
itu gak salah kalo dia sombong, sebab kelebihannya ya cuman sombong itu, lha
kalo Kang Semprul ndak sombong, kan ndak punya kelebihan apa-apa
dia….”
“Huasemmm tenan
kowe nDuk cah ayu… hahahahahahaha….. “, sahut si Semprul.
“Ya gini ini lho
yang bikin aku selalu kangen sama kalian…”, kata Cak DhrunH, “Tiap ketemu pasti
nyék-nyék-an, itu tandanya ada kemesraan di hati kita di antara kita, sebab
tanpa ada kemesraan yang terjalin, mustahil itu bisa
terjadi.”
“Sebentar Cak
Dhrunh, biar Kang Semprul menjelasakan kepada kita kenapa dia kok tidak ikut
sumpek sebagaimana yang dialami Cak Srundul, ayo Kang monggo…”, kata Ning
Ayu.
Namun saat itu
dari dalam rumah keluar sang nyonya DhrunH dengan membawa nampan berisi beberapa
gelas wedhang kopi dan beberapa macam camilan ala kadarnya, “Ayo monggo
diunjuk…”
“Ma… makasih yo…
jangan lupa lho nanti….”, kata Cak DhrunH kepada permaisurinya sambil
mengedipkan sebelah matanya.
“Opo se… ?”, jawab
nyonya DhrunH pula.
“Ini lho
tagihannya anak-anak nanti kalo pulang – kopi sak jajanné, hahahahaha……”, jawab
Cak Dhrunh.
“Dasar … !!!”,
kata nyonya DhrunH tersenyum sambil mencubit lengan si
Cacak.
“Pancêt ae
sampeyan iku Cak.”, kata si Srundul.
“Ayo-ayo monggo
disruput, jangan lupa dawuh Yaine, kirim Fatihah dulu ke Syaikh Asy Syadzili
sebagai ungkapan terima kasih kita kepada Beliau sekaligus tanda syukur kita
kepada Gusti Allah.”, Cak DhrunH mengingatkan mereka.
Setelah satu dua
sruputan yang diiringi kebulan asap yang kian memekat dari dua ahli hisap, yaitu
Srundul dan Semprul, Ning Ayu melanjutkan, “Ayo Kang Semprul
dilanjut…”.
“Halah… kalau aku
gitu tahu diri kok. Negara ruwet kayak begini, ya aku gak mampu mengubahnya.
Jangankan diriku, coba siapa tokoh di negeri ini yang bisa mengubah Negara ini ?
Gak bakalan ada. Negara ini adalah wajah kita semua, diakui atau pun tidak, kita
semua ikut andil di dalamnya, cuman seberapa jauh kadar keakutannya itulah yang
membedakan. Kita semua teriak maling dengan suara yang paling keras dan
menggelegar, namun diam-diam kita sendiri mengidamkan suatu saat ingin menjadi
maling. Jadi ya.. tinggal menunggu waktu, akan tiba saatnya Gusti Allah sendiri
yang akan mengubahnya dengan caraNya.”, urai Kang Semprul.
“Tapi Kang,
bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak
mengubahnya ?”, sanggah Ning
Ayu.
“Ya benar, tetapi
tidak mengubah kan berarti juga mengubah Ning…”, jawabKang
Semprul.
“Kok bisa Prul ?”,
tanya si Srundul sambil menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.
“Bukankah di dunia
ini segala sesuatu selalu berpasangan dan bergiliran pula ? Siang malam, panas
dingin, cepat lambat, baik buruk dan seterusnya dan pergiliran di antaranya
itulah proses yang kemudian disebut sebagai perubahan. Dalam hubungannya dengan
nasib, perubahan itu sendiri selalu dikontradiksikan antara baik dan
buruk.
Dalam bahasanya
Gusti Allah, perubahan itu mutlak ada di tanganNya, tetapi Gusti Allah
menyampaikan inrformasi kepada manusia dalam bahasa dan logika manusia yang
berisi tuntutan bahwa untuk mengubah nasibnya maka manusia itu sendiri harus
berusaha mengubahnya yang kemudian Gusti Allah menjamin akan mengubahnya
pula.
Nah dalam
kaitannya dengan kondisi kekinian amburadulnya negeri ini yang aku bilang nanti
Gusti Allah sendiri yang akan mengubahnya maka tidak mau berubah sama artinga
dengan mengubahnya.
Dalam kondisi yang
amburadul bin ruwet, berarti posisinya berada pada titik yang buruk. Keburukan
yang terjadi disebabkan karena tidak adanya kendali nafsu, padahal saat nafsu
tidak dikendalikan, nafsu itu akan selalu menuntut lebih, lebih dan lebih lagi.
Jadi manakala tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik berarti saat itu juga
terjadi perubahan ke arah yang lebih buruk
walaupun tanpa disadari dan Gusti Allah pun akan mengubah ke lebih buruk
lagi. Mungkin malah dipercepat ke tingkat yang paling gelap sehingga
sunatullahNya turun dan ini yang pasti akan menggetarkan jantung setiap
orang.”
Cak DhrunH
menimpali, “Kira-kira menurut kamu Prul, kenapa kok menggetarkan
?”
“Ya karena kita
semua ini manusia Cak. Manusia ya harus punya kesadaran kemanusiaannya, bukan
manusia dengan kesadaran binatang yang dengan segala kebuasannya selalu berusaha
menyenangkan dan memuaskan dirinya sendiri. Bukan pula manusia yang berlagak
tuhan. Maka manakalan manusia tertidur jiwa kemanusiannya atau bahkan mati,
harus digetarkan agar terbangun atau hidup kembali. Kalau perlu getaran itu
bukan sekedar getaran melainkan harus goncangan.”, jawab
Semprul.
“Ya… ya… ya… dan
itu yang ngeri…”, lanjut Cak DhrunH dengan mata yang menerawang jauh yang
mungkin membayangkan kengerian yang bisa terjadi seperti yang
dikatakannya.
“Paling gampang,
paling sederhana, paling mendasar, bagaimana sikap kita Cak dalam merespon
setiap keadaan yang terjadi di sekeliling kita ?”, tanya
Srundul.
“Sebenarnya mudah
saja Ndul, maksudku mudah kalau hanya sekedar diucapkan, namun sulit juga kalau
untuk diterapkan. Kira-kira begini, kalau kita sadar kalau kita muslim berarti
ya ouput kita harus selamat dan meyelamatkan apa pun dan siapa pun dalam lingkup
yang seluas-luasnya, silahkan kita ukur diri kita masing-masing, sudahkah kita
muslim ? Kalau kita sadar bahwa kita mukmin, lihat saja parameternya, sudahkan
output kita aman dan mengamankan harta, martabat dan jiwa apa pun dan siapa pun
dalam lingkup yang seluas-luasnya ?”
Semprul
menyahut,”Bener sampeyan Cak, parameternya sederhana tapi mendasar, penerapannya
itu lho yang berat.”
Cak DhrunH
melanjutkan, “Untuk sesuatu yang berat itulah hendaknya kita harus selalu
menyandarkan diri kepada yang bisa memampukan kita. Tak ada sandaran lain yang
melebihi Gusti Allah. Maka itu dalam sehari semalam minimal kita selalu menyebut
permohonan untuk diberi jalan yang lurus.”
“Maksudnya piye to
Cak, jalan yang lurus itu ?”, tanaya Semprul.
“Ee… begini”, Cak
DhrunH menjawab dengan tenggang waktu yang agak lama seakan ingin memilih kata
yang tepat dan sederhana untuk menyampiakan maksudnya, “Makna dari Jalan Yang
Lurus itu aku sendiri tidak memahaminya secara tepat, tapi bagiku kira-kira
begini…”
Belum selesai Cak
DhrunH menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba Ning Ayu menyela,”Cak-cak… sampeyan itu
kok mesti bilang kira-kira… hahahahaha…..”
“Ya.. tahu
sendirilah Ning, aku ini kan awam, bukan ahli qur’an bukan pula ahli hadits,
bukan ustadz, bukan pula Gus apalagi Kyai. Jadi aku sadar diri akan kapasitas
pribadiku, kalau memahami sesuatu itu kira-kira begitu menurut aku. Jadi dengan
kira-kira itu aku tidak memutlakkan diri bahwa aku benar, mungkin ada benarnya
tapi mungkin juga lebih banyak salahnya. Makanya kalau gak sependapat ya monggo
mbok aku ini diajari yang benar. Soalnya mereka yang ilmunya tinggi-tinggi itu
sering bilang kalau pemahamanku itu ndak mutu ndak berisi… Ndeso…. he… he…
he…”
“Ya sudahlah Cak,
yang penting kan outputnya baik dan bisa memberikan manfaat kepada yang lain.
Ayo Cak dilanjut tentang jalan yang lurus tadi.”, kata Ning
Ayu.
“Ibarat berjalan,
jalan yang lurus membuat langkah kita bisa ajeg atau konstan. Bandingkan bila
jalan yang ditempuh penuh kelokan, maka saat menempuhnya mungkin kita perlu
mengurangi kecepatan saat akan menikung atau bahkan perlu berhenti dulu melihat
keadaan saat tikungannya begitu tajam sehingga pandangan ke depan tidak bebas.
Maka, menurut penalaranku, jalan yang lurus itu adalah jalan yang ajeg, jalan
yang konstan atau jalan keistiqomahan.
Muslim yang selalu
selamat dan menyelamatkan, mukmin yang selalu aman dan mengamankan, tidak bisa
lain harus menempuhnya dengan jalan keistiqomahan. Keistiqomahan dalam hal apa ?
Tentu saja sebagaimana diperintahkan oleh Gusti Allah yaitu dalam hal kebaikan.
Seperti yang dikatakan Semprul tadi, harus mengawali perubahan sebagaimana yang
dituntut. Perubahan dengan selalu beramal sholih, selalu berbuat kebaikan si
semua hal, di segala tempat dan di setiap waktu.
Jadi intinya,
dalam segala keruwetan yang sedang terjadi, sebaiknya dan memang seharusnyalah
jangan pernah menuntut orang lain untuk berubah, namun mari kita awali dari diri
kita sendiri. Berusaha mengistiqomahkan selalu berbuat kebaikan sebagai
prasyarat terjadinya perubahan nasib dalam arti luas menjadi lebih baik lagi
juga dalam arti yang luas.
Perbuatan baik itu
harus berlandaskan pada akhlaq, sebab dawuhnya Yai Mursyid, akhlaq merupakan
pondasi inti kehidupan.”
“Kira-kira
memahaminya seperti apa Cak ?”, tanya Ning Ayu.
“Ah… kau, kok
ndisiki mendahuluiku ngomong kira-kira… hahahah… Bukankah Kanjeng Nabi itu
diutus oleh Gustia Allah, salah satu tugasnya adalah memperbaiki akhlaq. Kepada
Gusti Allah harus berakhlaq, kepada Kanjeng Nabi harus berakhlaq, kepada Guru
harus berakhlaq, kepada orang tua, anak, sesame, alam dan seterusnya, semua
harus berakhlaq. Kenapa kok akhlaq ? Sebab tanpa akhlaq kehidupan itu akan
terasa kering, manusia nanti tak ubahnya seperti sebuah mesin atau sebuah robot
yang hanya akan melaksanakan instruksi yang sudah tertanam dalam mesinnya dan
takkan pernah lebih dari itu.
Jadi umpama shalat
yang penting sudah melaksanakan seluruh syarat dan rukun sholat ya sudah, itu
saja. Namun dengan akhlaq kepada Gusti Allah, seseorang pasti akan melihat
hatinya, apakah saat shalat dan setelah shalat hatinya juga sudah diusahakan
selalu menghadapnya ? Kira-kira seperti itu.”
“Apakah seperti
juga Sayyidina Abu Bakar yang menyerahkan 100% hartanya dan bukan hanya 2,5% itu
?”, tanya Srundul.
“Ya… pastinyalah,
sebab Sayyidina Abu Bakar menyadari bahwa tidak sedikitpun memiliki saham atas
kehidupan yang dianugerahkan oleh Gusti Allah. Sahamnya 100% milik Allah, maka
Sayyidina Abu Bakar berakhlaq kepada Allah dengan menyerahkan pula 100%
hartanya. Begitukah kira-kira ?”, lanjut si Semprul.
Cak Dhrunh
melanjutkan,”Ya… memang begitulah, maka akhlaq itu pun selalu berlandaskan
cinta. Tanpa cinta mustahil akhlaq akan terbentuk. Cinta kepada sang pembawa
risalah, Rasulullah Muhammad dan nanti pada puncaknya cinta kepada sang pemilik
risalah yaitu Gusti Allah. Maka saat ada saudara kita yang hidup dalam
kemiskinan yang kelaparan misalnya, tidak membantu pun tidak masalah sebab
syariat tidak mengharuskan hal itu, namun saat akhlaq yang berbicara tentunya
tidaklah demikian. Kanjeng Nabi sangat mencintai orang yang miskin, mereka juga
makhluknya Gusti Allah dan bersamaa mereka Gusti Allah hadir sebagai jalan bagi
yang berlebih untuk dapat berbagi. Dengan akhlaq, seseorang akan berbagi, akan
mencari solusi meskipun tidak diperintahkan. Melakukan yang diperintahkan itu
berarti berbuat kebaikan, namun dengan akhlaq output kebaikannya pasti lebih,
lebih luas, lebih dalam dan lebih matang. Tidak sekedar mencukupi, namun pasti
mengangkat, menghebatkan, meninggikan, memampukan dan
memuliakan.”
“Jadi benang
merahnya gini ya Cak… selalu berusaha agar outputnya adalah kebaikan, kebaikan
itu dilandasi akhlaq dan akhlaq itu sendiri dilandasi cinta. Kebaikan itu
sendiri tidak hanya sekedar baik yang setara dengan apa yang telah
diperintahkan, namun intensitas kebaikan itu harus lebih luas, lebih dalam dan
lebih matang agar kehidupan ini menjadi mulia sebagaimana dikehendaki oleh Gusti
Allah ?”, simpul si Semprul.
“Ya begitulah
kira-kira. Berbuat baik itu memang sulit, pasti berat, tapi bisa diusahakan,
terlebih lagi kalau ada pelopornya dan kalau ada contohnya. Namun yang lebih
sulit dan berat lagi adalah membiasakan perbuatan baik itu sendiri, karena
itulah jalan keistiqomahan, jalan yang lurus seperti tadi aku katakana, jalan
yang selalu kita pinta kepada Gusti Allah.”, jawab Cak
DhrunH.
Sambil
senyum-senyum dengan senyumnya yang selalu manis itu, Ning Ayu berkata, “Andai
Tuhan itu tak lagi mewajibkan shalat, aku pasti senang. Umpama Allah itu
menghapus puasa romadhon, aku pasti gembira dan seandaianya Guruku mengakuiku
dan menjamin diriku sebagai muridnya tanpa membebankan kewajiban taat padanya
maka aku pasti tertawa bahagia…”.
Belum selesai Ning
Ayu berkata-kata dengan penuh ekspresi, Cak DhrunH memotong,”Itulah nilai
kemuliaannya !”
Dengan tak sabar
Srundul menukas, ”Kok bisa Cak ?!”
Semprul pun
langsung menyahut, “Ya bisa nDul, sebab yang dikatakan Ning Ayu itu adalah wajah
kita semua. Pada umumnya kita selalu mearasa terbebani untuk beribadah, untuk
berbuat kebaikan. Wiridan itu saja lho… pasti ada rasa malas, pasti ada rasa
ingin cepat selesai kan ? Tetapi meski demikian, kita tetap melakukannya kan ?
Tetap shalat, tetap puasa, tetap wiridan, tetap shodaqoh, tetap membantu sesama
dan seterusnya. Saat kita merasa berat, saat kita merasa malas, saat kita merasa
terbebani dan kita tetap melakukan itu semua, bukankah ada perjuangan di
dalamnya untuk memaksa diri kita sendiri ? Perjuangan itulah yang mempunyai
nilai kemuliaan. Dengan perjuangan itulah Allah menyematkan sedikit kemulian
pada diri kita. Lha kalau kita diperintahkan melakukan yang kita senangi maka
tentu saja akan mudah bagi kita, sebab tak harus berjuang memaksa diri kita
sendiri.”
“Betul katamu Kang
Semprul”, sahut Ning Ayu, “Maka kemuliaan itu akan semakin disematkan Allah
beriring dengan perjuangan kita menguasai diri kita sendiri dari yang semula
tidak suka, enggan, malas dan berat menjadi rela, tulus dan bahagia
melakukannya.”
Cak DhrunH
melanjutkan, “Maka dawuh Kanjeng Nabi - makan ketika lapar dan berhenti makan
sebelum kenyang - merupakan metode yang sangat efektif dan aplikatif sepanjang
masa dalam rangka berlatih mengendalikan diri, memperluas kesadaran dan
mengindahkan kehidupan.
Pertama, makan
ketika lapar berarti makan saat kita benar-benar membutuhkan bukan pada saat
kita menginginkannya – mengajarkan kepada kita tentang kesejatian memilah dan
memilih berbagai pilihan yang tersedia. Pilihan tentang segala hal yang kita
jalani dalam kehidupan kita masing-masing, tentang nilai-nilai yang kita
terapkan, tentang moral, pertemanan, persuami-isterian, tentang pekerjaan,
komunikasi, teknologi, sistem ekonomi, interaksi sosial, kebudayaan,
penyelenggaraan Negara dan sebagainya. Ada pilihan-pilihan yang “sejati” yang
menjadikan manusia tetap dengan kesadaran kemanusiaannya di antara sesamanya,
yang menjadikan manusia tetap dengan kesadaran kehambaannya di hadapan Tuhannya
dan yang menjadikan manusia tetap dengan kesadaran kemakhlukannya di jagad
semesta. Berkebalikan dengan itu, ada juga pilihan-pilihan yang dalam kategori
“senda-gurau” yang malah akan mendegradasikan manusia dari posisi makhluk yang
terbaik.
Kedua, berhenti
makan sebelum kenyang, berarti tidak menjadikan kenyang sebagai tujuan melainkan
hanya sebagai efek samping, makan tidak mencari kenyeng namun sebagai sarana
mencukupkan apa yang dibutuhkan tubuh yang memang harus dipenuhi. Maka, berhenti
makan sebelum kenyang mengajarkan kepada kita agar tidak terlena memperturutkan
keinginan untuk menjadikan yang semestinya bukan tujuan seperti efek samping
sebuah proses, menjadi tujuan kita. Membatasi diri agar tetap menjadi diri
sendiri, bukan menjadi diri yang dieksploitasi oleh sistem di luar diri kita
sendiri.”
“Kalau yang
pertama tadi aku agak paham Cak, tapi yang kedua itu, mbok sampeyan kasih contoh
sederhana untuk memahaminya.”, sela si Semprul.
“Kira-kira begini…
seseorang yang menyampaikan kebaikan sebagaimana yang disampaikan Kanjeng Nabi
harus mawas diri karena boleh jadi dalam proses dakwahnya dia akan meraih
popularitas. Nah di situlah dia harus berhenti, bukan berhenti berdakwah
melainkan harus menghentikan keinginannya menjadikan popularitas sebagai tujuan.
Popularitas hanyalah efek samping dari proses yang dijalaninya, sebagaimana
kenyang yang merupakan efek samping dari proses makan. Sebab saat popular,
seseorang lebih sering tidak bisa mempertahankan untuk menjadi dirinya sendiri.
Populer itu pada jaman ini berarti bisa dijual, nah saat ada pihak yang membeli
dirinya karena kepopulerannya, niscaya mulai saat itu dirinya tergadai, akan
mengikuti apa saja yang ditentukan oleh pembelinya dan ini buahaayaaaa…… Yang
harus dipopulerkan adalah ajaran kebaikannya Kanjeng Nabi, bukan dirinya.
Gicu…”.
“Interupsi Cak…”,
teriak Srundul sambil mengangkat tangannya laiknya anggota dewan sedang
menginterupsi pimpinan sidang, “Nasibku piye Cak, aku tadi ke sini ini salah
satunya mau cari utangan Cak buat modal jualan pentol.”
“Masalah utang itu
gampang, yang penting konsisten, kalau hutang ya hutang, kalau minta ya minta,
harus jelas. Kalau engkau minta, maka tak ada kewajiban mengembalikan, beda
kalau engkau hutang, selalu terikat dengan kewajiban mengembalikan walau pun
tidak diminta. Nanti saja itu, pribadi. Yang perlu ketegasanmu kali ini adalah
masalah jualanmu itu … !”, kata Cak DhrunH dengan muka yang serius, bahkan dua
rius.
“Memangnya apanya
Cak ?”, tanya Srundul.
“Kalau jual pentol
ya kamu harus konsisten, ukurannya harus besar, jangan kecil. Kalau kecil bukan
pentol namanya, tapi pentiilll…. hahahahaha…..”
Sambil tertawa
pula Ning Ayu berkata, “Kumatz….”
Sejenak setelah
tawa mereka agak reda, si Semprul urun rembug alias sumbang saran kepada si
Srundul, “nDul mbok ya dalam situasi yang prihatin ini kamu iringi dengan shalat
Dhuha.”
“Sudah Prul !”,
jawab si Srundul, “Tapi rasanya kok rejekiku malah jauh ya …
?”
“Hahahahaha…. sama
nDul, aku dulu juga begitu, ya gitu deh… Gusti Allah itu semaunya sendiri.
Hehehehehe… lha masak Gusti Allah nuruti maunya kita ??? Ndak mungkin to… lha
wong Tuhan itu penyebab dari segala sebab akibat. Katanya shalat Dhuha itu bisa
memperlancar rejeki, lha kok setelah berusaha mendawamkan shalat Dhuha, rejekiku
sepertinya malah jauh seperti dikatakan Srundul itu. Ayo… tanya kenapa ?”,
sambung Cak DhrunH.
“Iya Cak, kenapa
?”, tanya Srundul penasaran karena merasa mendapat bolo.
Sambil
senyum-senyum, Cak DhrunH menoleh kepada Ning Ayu, “Ayo Ning… njenengan yang
njawab sebagaimana dulu menjawab pertanyaanku yang sama. Tapi sebelum njenengan njawab biar aku kasih tahu mereka
kalau njenengan ini merupakan salah satu perempuan yang sama sekali tidak takut
hantu.”
“Lho kok tahu ?”,
sahut Ning Ayu.
“Iya… sebab
senyummu itulah yang malah selalu menghantui diriku…. he… he… he…”, jawab Cak
Dhrunh.
“Hahahahaha…. OVJ-
OVJ.”, sambung si Semprul sambil ngakak.
“Ndul… bukankah
dikau sejak awal dalam bimbingan Yai Mursyid sudah berniat lillahi ta’ala dalam
hidupmu ?”, tanya Ning Ayu.
“Yup, bener
Ning.”
“Nah, itu dia, tak
ada niat kecuali ada medan pembuktian yang terhampar di depannya. Maka dengan
niatmu itulah, shalat dhuha yang engkau lakukan malah seakan-akan menjauhkan
rejekimu, sebab saat engkau melakukan shalat dhuha itu, yang tergambar di
kesadaranmu adalahnya lancarnya rejeki dan itu yang menjadi tujuanmu. Maka
bersyukurlah kalau engkau dijagaNya dengan seolah-olah rejekimu malah jauh, agar
engkau tetap mengistiqomahkan shalat dhuha itu sampai apa yang dijamin oleh
Allah itu sudah tidak menjadi tujuanmu. Kenyang bukanlah tujuan, tapi proses
makan itulah yang menjadi kebutuhanmu. Rejeki bukanlah tujuan, tapi shalat dhuha
itu sendirilah yang menjadi kebutuhanmu untuk mendekat padaNya. Nah kalau itu
yang terjadi, insya Allah barulah engkau merasakan keberkahan shalat dhuha itu
sendiri.
DHUHA. Bukan
semata karena engkau menghadapNya lalu engkau diberi rizqi olehNya, melainkan
lebih merupakan karena engkau ingat dan menghadapNya di saat manusia lain mulai
sibuk dan menyibukkan diri dengan urusan dunianya maka engkau diingatNya pula
dengan diberi kemudahan rizqi. NAMUN, juga bukan itu sebenarnya, akan tetapi
sebab DIA mengingatmulah hingga engkau digerakkan untuk ingat dan menghadapNya
dan yang demikian itu adalah tanda-tanda DIA memberikan bertambah-tambahnya
keberkahan rizqimu.”
.:: Begitulah
::.